Sabtu, 03 Januari 2015

TANTANGAN “KODE ETIK” DALAM PRAKTEK KONSELING

TUGAS KULIAH  ISU ISU AKTUAL BKI

KODE ETIK BK

Pekerjaan konseling dikelompokkan dalam tingkatan dinamisme, tuntutan untuk merespon, dan kesempatan untuk mengatasi kesehatan mental dan kebutuhan nasehat dari konsumen yang belum diketahui beberapa generasi sebelumnya. Ada berbagai susunan teori, model-model terapi, intervensi pengobatan, dan penemuan penelitian dari berbagai disiplin ilmu yang bersinggungan dengan cara penyampaian layanan konseling kepada klien, kelompok dan masyarakat yang berbeda-beda. Untuk mempersiapkan tuntutan ini, menjadi seorang ahli pengobatan,  khususnya mahasiswa lulusan pendidikan konseling harus dilakukan untuk mengembangkan kemampuan teoritis dan klinis dengan dasar yang berkelanjutan. Ada cakupan praktek yang penting dan mendasar, walaupun membuat perhatian konsentrasi yang berbeda karena masalah-masalah kritis yang muncul dalam masing-masing masalah praktek, yaitu: kode etik.
Sekarang ini, persoalan terkait peranan kode etik yang mempuyai peranan dalam praktek pengobatan semakin kuat (Urofsky & Engels, 2003). Namun, konseptualisasi dan aplikasi kode etik bukanlah proses yang selalu mudah. Ahli pengobatan klinis modern sekarang dihadapkan dengan berbagai tantangan yang komplek, sifatnya filosofis, dan berhubungan dengan perubahan sosial dan politik dalam praktek konseling (Jennings, Sovereign, Bottoroff, Mussel, & Vye, 2005). Permasalahan-permasalahan tersebut biasanya merupakan akibat dari perubahan sosial; pertanyaan-pertanyaan yang dihasilkan oleh penelitian, pendidikan, ptaktek, nilai-nilai spiritual dan pribadi konselor dan si klien; hukum, dan standar pengobatan.
Bab ini akan membahas mengenai peranan bahwa kode etik berperan terkait dalam masalah-masalah praktek konseling masa kini. Tujuan dari tinjaun ini ialah untuk menentukan masalah kode etik yang mendasar, yang memperkenalkan bahwa pengobatan yang mendalam dalam setiap masalah ada dalam bahasan bab ini. Pembahasan mengenai kode etik pengobatan akan dijelaskan untuk menunjukkan kompleknya masalah dilema kode etik dan keputusan berdasarkan kode etik dalam proses konseling. Bab ini juga diintegrasikan dengan pembahasan mengenai masalah-masalah yang berhubungan dengan aplikasi kode etik dan standar praktek konseling dari American Counseling Association (ACA) (www.counseling.org). Walaupun kode etik ini sering dijadikan sebagai referensi pokok oleh konselor, Ethical Principles of Psychologists and Code of Conduct juga akan dijadikan referensi (www.apa.org) untuk menggambarkan nilai-nilai dan kepercayaan-kepercayaan yang didiskusikan bersama mengenai praktek kode etik yang dilakukan oleh ahli psikologi konseling.
PERANAN KODE ETIK
Tanda resminya dari sebuah pekerjaan ialah terbangunnya kode etik yang menjadi pedoman praktek. Sebuah asosiasi professional biasanya mengembangkan kode etik, kemudian meminta anggotanya untuk mengikutinya. Kelalaian dalam mengikuti kode etik bisa mengakibatkan adanya sanksi yang dibebankan kepada pelanggar oleh sebuah asosiasi professional, namun tidak mungkin secara konsisten menujukkan harus menjadi peraturan yang berhubungan dengan pemerintah yang diimplementasikan menjadi sebuah lisensi. Kode etik secara berkala direvisi atau berdasarkan jadwal sesuai AD/ART sebuah asosiasi untuk menunjukkan penemuan dalam penelitian yang relevan, perbaikan sistem yang resmi, dan praktek terbaik yang diketahui dan disetujui dalam profesi tersebut. Prinsip mendasar dalam kode etik adalah untuk melindungi klien dari bahaya, mendahulukan otonomi klien, dan meyakinkan bahwa bahwa ahli pengobatan klinik tidak akan melakukan praktek di luar keahliannya. Keluhan yang sering diajukan terhadap konselor biasanya adalah karena pelanggaran terhadap 3 prinsip mendasar ini dan mengakibatkan adanya sangsi karena kelalaian, ketidakcakapan, dan kegagalan berdasarkan standar pengobatan (Corey, Corey,& Callahan, 2003). Untuk meyakinkan bahwa kode etik yang professional dan persyaratan yang resmi yang tertulis bisa bertanggung jawab untuk memantau dan mendisiplinkan konselor menjadi sepaham, surat-surat resmi tersebut tentunya mengadopsi kode etik tertentu (American Psychological Association, 2003).
Kode etik konseling mempunyai tujuan seperti sebagai berikut:
1.      Standar kode etik meyakinkan bahwa hak dan keselamatan klien terjaga atau dihormati.
2.      Ketaatan kepada kode etik meyakinkan bahwa konselor bekerja berdasarkan bidangnya yang sudah terlatih dan kompeten.
3.      Kode etik adalah panduan untuk perilaku-perilaku yang professional dan sebagai rujukan jika bertentangan dengan kode etik.
Akhir-akhir ini, isu mengenai aplikasi kode etik telah berperan besar dalam praktek pengobatan (Bricklin, 2001; Urofsky & Engels, 2003). Ahli pengobatan, pendidik dan pemimpin asosiasi professional mengetahui bahwa bagaimana kode etik dikonseptualisasikan secara langsung berhubungan dengan bagaimana kode etik tersebut akan diaplikasikan. Tidak adanya kejelasan antara maksud yang diinginkan dari sebuah kode etik dengan kebutuhan dunia nyata dari konselor berhadapan dengan aplikasi kode etik yang menunjukkan sebuah masalah dasar bahwa pekerjaan konseling secara kontinyu harus berbicara. Misalnya, sebuah prinsip dasar dari kode etik ACA mengatakan “jangan merusak konsep” (Bricklin, 2001). ACA mengatakan bahwa anggotanya harus memajukan “perbaikan perkembangan manusia dalam hidup yang singkat ini. Anggota asosiasi harus mengenal perbedaan dalam masyarakat kita dan merangkul pendekatan lintas budaya dalam menyokong harga diri, martabat, potensi dan keunikan masih masing individu” (www.counseling.org). Bagi para psikolog, pedoman psikolog yang berjudul 2002 Ethical Principle of Psychologist and Code of Conduct “membuat 4 aturan yang bisa dijalankan dalam bertindak sebagai psikolog bagi anggota Asosiasi Psikolog Amerika. Dalam prakteknya, pertanyaan muncul bagaimana seorang praktisi memenuhi tanggung jawab tersebut dalam ruang lingkup yang sangat luas, seiring meningkatnya perbedaan populasi klien, dan dalam menghadapi permintaan layanan, dana, atau sumber yang berkurang.
PERTIMBANGAN FILOSOFIS: KODE ETIK YANG SIFAT PERINTAH DAN ASPIRASIONAL
Mencegah hal yang berbahaya terjadi pada klien dan menghormatinya merupakan sebuah orientasi filosofis. Urofsky dan Eangels (2003, p. 126) berkomentar mengenai kesadaran diri seorang konselor dan sebuah pemahaman tentang bagaiamana intervensi konselor mempengaruhi semua proses penyembuhan, begitu pula dampaknya terhadap masyarakat secara umum.
Masalah filosofis, khusus yang berkaitan dengan filosofi moral, hampir mendasari semua aspek konseling dan menuntut bahwa konselor mempunyai pemahaman tentang konseling dan kode etik yang berlaku dalam pengetahuan dasar tentang kemampuan konseling dan kode etik.
Para konselor memiliki pilihan apakah akan berjalan berdasarkan kode etik dalam sebuah konteks hitam dan putih dimana setiap situasi terlihat menutut sebuah pilihan dipaksakan diantara dua pilihan yang berlawanan (mandatory ethics), atau menggunakan intervensi dan menjaga keselamatan klien yang sedang dalam keadaan buruk, yang menyarankan sebuah pandangan melalui setiap situasi dilihat secara individual dengan mengambil beberapa variabel dan sedikit tekanan pada sebuah pilihan yang dipaksakan diantara pilihan-pilihan yang jelas (aspirational ethics). Beberapa peneliti (Jordan & Meara, 1990; Kitchener, 1984; Meara, Schmidt, & Day, 1996) telah meneliti perbedaan antara kode yang sifatnya perintah (mandatory) dan yang sifatnya aspirasional. Kode etik yang sifatnya perintah biasa digambarkan oleh kode etik yang dibuat oleh asosiasi professional dan tertulis resmi. Kode etik yang sifatnya perintah dianggap kode etik yang dapat diterima dan merupakan standar resmi dalam tindakan-tindakan professional, prosedur pengobatan, dan dalam keputusan membuat berdasarkan kode etik. Sebaliknya, kode etik aspirasional merujuk pada filsofi keselamatan klien dan menggambarkan sebuah transisi dengan melihat tantangan kode etik dari pandangan yang sempit ke tingkatan yang lebih tinggi dan dalam membuat keputusan (Bricklin, 2001).
Dari perspektif ini, ada beberapa konsep mendasar yang harus dipertimbangkan, setiap individu menentukan masalah yang mana pekerjaan konseling yang secara terus menerus harus berusaha dijaga (Bersoff, 1995; Corey, Corey, & Callahan, 2003; Kitchener, 1984):
-          Otonomi: menghormati hak-hak klien dalam membuat keputusan
-          Kebaikan: mengimplementasikan pekerjaan konseling yang baik
-          Nonmaleficence: menghindari hal-hal yang membahayakan dan merugikan bagi klien/Tidak berlarut larut
-          Keadilan: membuat sebuah terapi yang yang aman dan terpercaya sesuai kepentingan klien ketika datang pertama kali
Prinsip-prinsip mendasar tersebut bisa dilihat sebagai cerminan dari perpekstif yang sifat perintah maupun aspirasional. Dari perspektif yang sifatnya perintah, semua konselor professional dalam setiap konteks praktek apapun harus mengikuti prinsip-prinsip ini. Perspektif aspirasional menambahkan sebuah dimensi dari konteks terhadap aplikasi beberapa kode etik dengan mengikuti setiap prinsip tersebut namun juga mempertimbangkan dampak-dampak di sekitarnya. Sebagai contoh, seorang konselor bisa dikenai sangsi apabila melanggar kode etik dengan mengumumkan informasi mengenai kliennya tanpa izinnya. Namun, berdasarkan konteks pelanggaran tersebut bisa mengusulkan bahwa beberapa faktor yang ada dalam situasi tersebut bisa mengurangi pelanggaran tersebut ketika faktor-faktor tersebut dijelaskan. Dengan demikian, disarankan bahwa meskipun mengaplikasikan kode etik ang sifatnya perintah sangat penting untuk melindungi klien, perspektif yang sifatnya aspirasional bisa menambah sebuah pandangan holistik terhadap pandangan-pandangan yang akan dibuat.

MASALAH POKOK KODE ETIK: PENYAMPAIAN INFORMASI PERMASALAHAN
Informed consent (penyampaian Informasi permasalahan) adalah istilah yang meliputi implikasi yang resmi dan berdasarkan kode etik. Masalah-masalah yang berhubungan dengan meyakinkan izin tindakan medis merupakan sesuatu yang pokok yang harus ada ketika akan memulai layanan konseling atau aktivitas penelitian dan harus ada dibagian awal ketika proses penyembuhan mau pun dalam penelitian (Corey, Corey, & Callahan, 2003; Leedy & Ormrod, 2005). Konselor dan peneliti harus meyakinkan bahwa semua kliennya dan partisipan penelitiannya kompeten dan mampu serta setuju dalam melakukan penyembuhan atau diikursertakan dalam penelitian entah sifatnya suka rela dan tanpa paksaan. Ada dua masalah yang secara langsung mempengaruhi izin tindakan medis: bagaiman izin tindakan medis didapat dan bagaimana kompetensi untuk memberikan izin ditentukan.
Mengkontruksi Informasi
Untuk meyakinkan bahwa klien atau partisipan penelitian kompeten dalam memberikan persetujuan, praktisi dan peneliti harus mengikuti petunjuk secara konsisten dan jelas yang dirancang untuk melindungi segala aktivitas konseling yang terlibat. Misalnya, untuk “memberikan persetujuan”, si klien harus memahami layanan yang disediakan dalam berbagai dimensi yang bermacam-macam. Oleh karena itu, bentuk penyampaian Informasi permasalahan kepada konseli  harus tepat dan detil mengenai masalah seperti: bayaran, hak yang diperoleh klien atau partisipan, batasan kerahasiaan, intervensi konseling/penelitian, waktu atau jadwal kegiatan/partisipan, resiko dan keuntungan aktivitas tersebut. Konselor juga mempunyai tanggung jawab tambahan untuk menunjukkan beberapa hal seperti sebagai berikut ini: bayaran, training yang sifatnya pengobatan atau mendidik, surat izin, pendekatan teori, diagnosa klien dan rencana penyembuhan yang diajukan, pilihan sesi darurat, kebijakan dan prosedur bagi klien yang sifatnya bukan “tontonan” saja, dan memberikan informasi tentang waktu kosong yang dijadwalkan atau ketidakhadiran yang diperpanjang oleh para praktisi.
Kompetensi  dalam memberikan informasi
Dalam beberapa konteks, para praktisi dan peneliti bisa mengikuti petunjuk yang ditetapkan dengan baik untuk mendapatkan izin tindakan medis. Tetapi, populasi klien tertentu menentukan beberapa pertimbangan ketika memikirkan metode-metode untuk meyakinkan bahwa izin tindakan medis dibutuhkan dan diterima. Misalnya, menentukan kompetensi dan kemauan yang bebas untuk memberikan izin berhadapan dengan orang yang belum dewasa, klien yang ada dalam pengadilan, dan individu yang lemah kognitifnya. Salah satu solusi untuk dilema ini adalah dengan menentukan siapa yang memegang perwalian resmi terhadap klien dan dengan mendapatkan izin orang tua/wali untuk merawat.
Untuk meyakinkan bahwa penyampaian Informasi permasalahan dan hak untuk mendapatkan informasi dihormati, sambil mendukung hubungan antara konselor-klien, konselor atau peneliti bisa memberitahukan setiap bagian dalam proses penyembuhan mengenai beberapa parameter kerahasiaan. Beberapa isu yang berhubungan dengan izin tindakan medis juga berhubungan dengan perubahan-perubahan dalam cara pembayaran dalam negara maju (misalnya perawatan yang teratur) seperti halnya kebijakan pemerintah bagaimana informasi tentang klien tersebar dan terlindungi.
MASALAH POKOK KODE ETIK: MEMBUAT KEPUTUSAN BERDASARKAN KODE ETIK
Sebagaiamana sebelumnya disebutkan bahwa, kode etik adalah petujuk dalam praktek dan pelaksanaan yang professional. Berdasarkan pernyataan tersebut, beberapa berpendapat bahwa kode etik dengan sendirinya tidak selalu memberikan sebuah solusi yang pasti dalam beberapa masalah (Bersoff, 1995; Corey, Corey, & Callahan, 2003; Kitchener, 1984; Urofsky & Engels, 2003). Untuk menanggapi isu ini, beberapa praktisi dan peneliti telah mengajukan beberapa rancangan dalam beberapa masalah yang bisa didiskusikan. Beberapa masalah rancangan konseptual ini strukturnya sama, terdiri dari beberapa langkah yang spesifik seperti dalam mengidentifikasi beberapa masalah, mengkaji ulang kode etik, mempertimbangkan beberapa pilihan dan kosekuensi yang positif dan negatif, mencari pengawasan yang tajam, klinis dan formal, mendapatkan nasehat yang resmi, mendokumentasikan hasil dari setiap pertemuan, menyelidiki perasaan dan proses pemikiran seseorang, dan menggambarkan apa yang telah dipelajari. Langkah-langkah tambahan lainnya ialah menentukan dan menindaklanjuti pilihan yang terbaik dan mengevaluasi hasilnya.
Secara jelas, sebuah proses dalam membuat keputusan yang terstruktur yang mendukung konselor menghadapi masalah dalam praktek kode etik. Kemudian, sebuah proses dalam menentukan keputusan yang konsisten juga membantu perkembangan sebuah proses pemikiran yang bisa menjadi “dasar kedua”. Dengan kata lain, konselor menghadapi masalah yang lebih sedikit ketika dia yakin bagaimana setiap situasi didekati, diteliti, dan diputuskan. Menggunakan ini, proses membuat keputusan yang terstruktur cocok dengan kode etik yang sifatnya perintah atau bahkan dalam resolusi masalah kode etik yang aspirasional. Ini merupakan proses yang diikuti dengan sikap yang konsisten yang mengizinkan konselor untuk membuat keputusan berdasarkan berdasarkan kode etikseraya mengurangi ketidakpastian.
MASALAH POKOK KODE ETIK: KERAHASIAAN DAN KOMUNIKASI PRIBADI
Kerahasiaan dan komunikasi pribadi  merupakan konsep yang terdiri dari komponen yang resmi dan berdasarkan kode etik. Beberapa mengatakan bahwa kerahasiaan adalah dasar hubungan konseling dan itu yang membuat kepercayaan dan hubungan (Corey, Corey & Callahan, 2005; Herlih & Corey, 1996). Dengan kepercayaan yang kritis adalah elemen penting dalam hubungan antara konselor dan klien, konselor membuat setiap upaya untuk menegakkan kerahasiaan, dan klien menganggap rahasia yang diungkapkan ketika dalam proses konseling terlindungi (Glosoff, Herlihy, & Spence, 2000). Cukup sering, klien secara sukarela akan menadatangani surat bebas informasi bagi konselor untuk memperlihatkan informasi tertulis atau verbal yang terbatas. Walaupun izin demikian sering dibolehkan, begitu pula dalam kasus mengabarkan hal yang baru kepada penyedia kesehatan lain, sistem pendidikan, pengacara dan hal penting lainnya – ada kesempatan kapan konselor dihadapkan dengan sebuah panggilan sidang dari pengadilan untuk mengungkapkan materi yang sifatnya rahasia (Coret, Corey, & Callahan, 2005).
Panggilan pengadilan menjadi problema bagi konselor ketika klien tidak berharap catatan-catatannya diungkapkan (Glosoff, Herlihy, & Spence, 2000). Masalah sentral dalam situasi ini adalah perbedaan antara apa yang klien pahami sebagai hal yang “istimewa” atau “rahasia” dan seperti apa yang dianggap oleh institusiti hukum atau ahli undang-undang. Misalnya, seorang konselor mendapatkan panggilan dari pengadilan untuk memberikan kesaksian atau diminta untuk menyerahakan catatan-catatan hasil konseling. Jika ‘keistimewaan’ konselor ridak ditegakkan (sebagaimana ditentukan oleh pengadilan), konselor harus tunduk terhadap permintaan pengadilan untuk menghindari sebuah penghinaan terhadap peraturan pengadilan (Glosoff, Herlihy, & Spence, 2000). Ketika dihadapkan dengan hal tersebut, konselor disarankan untuk menginformasikan kepada kliennya mengenai permintaan pengadilan tersebut kemudian mencari konseling yang resmi sebelum merespon permintaan pengadilan. Bagi konselor, masalah sentral dalam situasi yang berlawanan tersebut adalah perlindungan mengenai informasi klien dan hal yang terkait selama proses penyembuhan. Berdasarkan beberapa masalah kode etik, tindakan konselor untuk memberikan informasi klien mengenai permintaan pengadilan yang diminta oleh pihak ketiga bisa mengurangi gangguan hubungan penyembuhan. Konsultasi dengan supervisor atau kolega yang berpengalaman dengan masalah seperti disarankan sekali.
Parameter ‘komunikasi istimewa’ ditetapkan oleh undang-undang resmi atau hukum. Ini secara spesifik menyatakan secara tidak langsung bahwa klien memiliki hak yang resmi untuk tidak mengesahkan beberapa informasi untuk diberikan kepada pengadilan/orang lain. Penting untuk dinyatakan kembali bahwa ‘komunikasi istimewa’ tidak dimiliki oleh konselor, namun oleh klien (Corey, Corey, & Callahan, 2003).
Melanggar Kerahasiaan
Ada beberapa masalah lain dimana konselor harus menguraikan kerahasiaan klien. ACA Code of Ethics and Standards of Practice (2005) mengatakan bahwa ketika si klien dalam resiko yang membahayakan dirinya atau orang lain, kerahasiaan bisa dilanggar. Beberapa misalnya seperti berikut ini:
-          Klien melaporkan mengenai keterlibatannya dalam kekerasan seksual terhadap anak-anak atau dewasa.
-          Klien menceritakan maksud dan ide bunuh diri.
-          Ahli pengobatan menilai resiko klien untuk bunuh diri sudah meemenuhi kriteria.
-          Ada bukti bahwa si klien mengalami kemunduran psikologi untuk menjaga dirinya sendiri.
-          Ada resiko pembunuhan yang ditujukan kepada orang lain oleh si klien.
Bagi para psikolog, mengikuti APA Ethics Code (2005, p.8), mengungkapkan informasi rahasia bisa diterima untuk alasan yang serupa seperti berikut ini, untuk:
1.      Memberikan layanan professional yang dibutuhkan.
2.      Mendapatkan konsultasi yang professional yang cocok.
3.      Melindungi klien/pasien, psikolog, atau orang lain dari bahaya.
4.      Mendapatkan bayaran dari klien/pasien atas layanan yang telah diberikan, yang mana misalnya pengungkapan rahasia dibatasi berdasarkan upah minimum yang dibutuhkan untuk mendapatkan apa yang telah dimaksudkan.
Tugas untuk Memperingatkan
Mengungkapkan kerahasiaan karena ada resiko bunuh diri atau membunuh orang lain secara khusus ditetapkan dan dipengaruhi oleh hukum, undang-undang dan aturan pengadilan dan dikenal sebagai ‘tugas untuk memperingatkan’ dan ‘tugas untuk melindungi”. Konsep dasar peringatan-peringatan ini dalam standar prakteknya bahwasanya ahli pengobatan/konselor harus melindungi klien dari dirinya sendiri atau dari orang lain (Melby, 2004). Oleh karena itu, konselor harus aktif mengevaluasi kliennya, berkonsultasi dengan supervisor, bisa memutuskan apakah kliennya dalam resiko yang bisa membahayakan dirinya sendiri atau orang lain (Gross & Robinson, 1987).
Standar ada setelah terjadi kasus Tarasoff. Pada tahun 1996, seorang mahasiswa University of California di Berkeley, yang bernama Prosenjit Poddar, bercerita kepada psikolognya mengenai rencananya untuk membunuh Tatiana Tarasoff, seorang wanita yang telah menolak rayuannya. Psikolog yang diceritai oleh Poddar kemudian berkonsultasi dengan supervisornya dan diberi nasehat untuk tidak memberitahukan informasi tersebut kepada Tarasoff. Psikolog tersebut kemudian mengikuti saran supervisornya, dan beberapa munggu kemudian, Poddar membunuh Tarasoff (Corey, Corey, & Callahan, 1995, Melby, 2004). Kasus tersebut kemudian menjadi kasus kode etik klasis yang menjadi perbicangan, debat dan diskusi. Beberapa tahun yang kemudian, setiap profesi yang berhubungan dengan kesehatan mental menetapkan adanya persyaratan untuk melanggar kerahasiaan.


Tugas untuk Memperingatkan dan HIV
Belakangan ini, tugas untuk memperingatkan kepada klien yang menderita HIV/AIDS telah dijelaskan. Para ahli pengobatan dan peneliti telah mendiskusikan mengenai implikasi yang resmi dan berdasarkan kode etik terhadap klien yang positif AIDS, sebagai contoh kasus berikut.
Joey, 37 tahun, tampan, pekerja dan sudah bercerai dengan istrinya. Dia sangat atraktif dan ceria. Pernikahannya retak karena dia sering bermain wanita yang dia kenal melalui internet. Sehingga bisa diindikasikan bahwa dia kemanan kesehatan seksualnya tidak terjaga. Kemudian dia bertemu dengan seorang wanita lain yang dia merasa cinta. Joey bercerita kepada konselornya bahwa “wanita yang baru dicintainya itu meminta dia test HIV.” Dua minggu kemudian Joey datang ke konselor itu lagi dan dengan tidak percaya dia menceritakan bahwa hasil tesnya menunjukkan ia positif HIV. “Saya tidak akan menceritakan hal ini kepada wanita saya, saya takut dia meninggalkan saya.”
HIV/AIDS adalah penyakit seks yang menular dan mematikan. Berdasarkan kasus ini ada berbagai masalah kode etik yang muncul. Lalu bagaimana pemecahannya?
            Berdasarkan masalah kode etik mengenai penyakit yang fatal dan menular, ACA memberikan solusi yang jelas dengan menyajikan petunjuk yang jelas.
Konselor dibenarkan untuk memberikan informasi kepada orang ketiga yang telah diketahui, jika mereka diketahui akan mendapatkan resiko penyakit yang berbahaya. Sebelum melakukan pengungkapan rahasia, konselor harus mengkonfirmasi bahwa sudah ada diagnosa dan menaksir apakah ada maksud klien untuk menginformasikan pihak ketiga tentang penyakitnya atau apakah klien akan bertindak hal yang membahayakan kepada pihak ketiga.
Setiap langkah yang dilakukan menuntut pemikiran yang mendalam, penjelasan yang hati-hati dari tindakan yang diambil, dan metode untuk memeriksa rencana tersebut telah diterapkan.
1.      Tentukan apakah si klien aktivitas seksnya terlindungi atau tidak.
2.      Tentukan apakah si klien telah memberitahukan status HIVnya kepada seorang atau beberapa partner.
3.      Tentukan juga siapa partner/ pasangan klien tersebut.
4.      Yakinkan apakah klien akan memberitahukann status HIVnya:
a.       Jika ya, maka agendakan pertemuan antara si klien dengan pasangannya untuk mengkonfirmasikan apakah kliennya telah menceritakan kepada pasiennya atau tidak.
b.      Jika ya, klien harus mendatangani surat pembebasan informasi sebelum agenda pertemuan tersebut.
c.       Jika ya atau tidak, jelaskan mengenai pilihan untuk membuat perjanjian seks yang aman bahwa klien akan menandatangani dan setuju untuk mematuhi pasangannya.
d.      Carilah konsultasi dan pengawasan klinik. Dengan hati-hati dokumentasikan semua persetujuan, kontrak dan kegiatan klien.
PENGOBATAN YANG DIATUR DAN DILEMA KODE ETIK
Sebagaimana biaya kesehatan naik, perusahaan-perusahaan asuransi kesehatan merencanakan sebuah sistem kesehatan yang dikenal dengan ‘managed care (pengobatan yang teratur)’, yang didesain untuk mengontrol dan memantau meningkatnya biaya kesehatan. (Dombeck & Olsan, 2002). Itu dianjurkan agar perusahaan tersebut bisa meyakinkan bahwa biaya pengobatan yang efektif akan terjadi dengan melakukan kontrak bersama provider yang disepakati untuk menawarkan waktu pengobatan yang terbatas. Secara umum, yang ditekankan dari pengobatan konseling bergerak dari terapi psychodynamic jangka panjang ke terapi perilaku-kognitif yang singkat yang menyentuh pertimbangan klien mengenai masalah apakah harian, mingguan, atau sebulan (deShaxer, 1985; Evans, Valades, Burns. & Rodriguex, 2002).
            Walaupun ada berbagai macam cara bagaimana setiap rencana kesehatan yang diatur melaksanakan pengobatannya, persetujuan rencana pengobatan, atau pengkajian terhadap perkembangan pengobatan, masalah kode etik yang berhubungan dengan proses ini merupakan sumber pertimbangan bagi konselor. Misalnya, rencana pengobatan yang cukup sering diserahkan kepada sebuah utilization reviewer (peninjau penggunaan) / UR, yang menyepekati rencana pengobatan dan sejumlah agenda khusus. UR tersebut tidah membutuhkan master atau ahli pengobatan yang memiliki izin. Fokus dari review ini adalah untuk meyakinkan bahwa biaya dimasukkan dan pengobatan tersebut dipertimbangkan sebagai kebutuhan medis untuk menstabilkan klien secara psikologis.
            Kemudian dalam pengobatan kesehatan mental, hubungan antara ahli pengobatan kesehatan mental dan klien telah di ditransformasikan. Klien mendapatkan akses provider/penyedia konseling melalui sebuah daftar provider, dan pihak ketiga (UR) diikutsertakan untuk menentukan apakah otorisasi pengobatan akan berlangsung atau diakhiri berdasarkan dokumen yang yang diserahkan dalam surat rencana kesehatan tersebut. Untuk dikutsertakan dalam sebuah panel provider, provider sepakat memenuhi persyaratan rencana tersebut. Dari perpektif kode etik, konselor bisa dihadapkan dengan sebuah masalah kode etik yang mengikutsertakan kebutuhan untuk terus menyediakan pengobatan berdasarkan parameter yang ada dalam kontak provider. Haruskah pengobatan diteruskan atau dihentikan berdasarkan masalah-masalah ini? apa resikonya bagi konselor dan klien? Apakah sebuah isu kode etik berkaitan dengan pemberhentian pengobatan karena kemungkinan pembayaran tidak diteruskan? Atau haruskah itu diatasi hanya karena untuk menghindari pelanggaran karena jabatan?
Ada manfaat dan batasan menjadi sebuah provider layanan konseling kesehatan mental bagi perusahaan yang menyediakan pengobatan yang diatur (managed care) (Scaturo, 2002). Keuntungannya jelas sekali, memasukkan sebuah sumber yang yang bisa dipercaya dari apa yang diserahkan klien, dan walaupun tarif bayaran lebih rendah dari standar pembayaran layanan konseling di masyarakat, tetapi ada sebuah sumber konsisten mengenai pendapatan dari pengobatan yang diatur. Perusahaan kesehatan berencana menyediakan ‘uang jasa’ bagi konselor yang dapat mempercepat prosess penyembuhan menghentikan klien (Danzinger & Welfel-Reynolds, 2001; Sanchez & Turner, 2003).
            Pembatasan untuk berpartisipasi sebagai provider panel kesehatan berencana sering menekankan pada pembatasan yang ditempatkan pada sejumlah agenda yang disahkan, metode yang digunakan untuk melakukan konseling, dan menggunakan model penyembuhan dan intervensi yang tidak kongruen dengan orientasi klinik atau teoritis dari konselor. (Danzinger & Welfel-Reynold, 2001). Tantangan lain termasuk ketidaksepakatan dengan keputusan UR terhadap semua proses penyembuhan, mulai dari frekuensi kegiatan, ketidakcocokan dengan diagnosa, pemberhentian lebih awal ketika ahli pengobatan menganggap itu tidak baik untuk melakukan tindakan tersebut, penolakan untuk mengesahkan sesi tambahan, dan konflik antara kebijakan perusahan kesehatan berencana dan prosedur yang merupkan nilai dan kode etik konselor (Sanchez & Turner).
            Reaksi terhadap proses UR yang dilakukan oleh beberapa individu yang mungkin bukan konselor yang sudah memiliki izin, secara kode etik dianggap hal yang mencurigakan bagi kerahasiaan pasien. Walaupun prosedur dan praktek kesehatan berencana dalam beberapa hal menuntut akan butuhnyaa kerahasiaan klien, persyaratan untuk mendokumentasikan penyembuhan kepada pihak ketiga yang mungkin memiliki surat izin dan memenuhi syarat atau tidak, tetap merupakan masalah yang sulit dalam konseling yang mempertimbang perspektif kode etik bagi pelanggan (Danzinger & Welfel-Reynolds, 2001; Sanchez & Turner, 2003).
Masalah Undang-undang dan Kesehatan yang Direncanakan
Sebuah kasus pengadilan yang penting, Wickine v. State of California (1987), membuat sebuah tindakan yang harus dicontoh bahwa konselor atau tenaga kesehatan harus menganjurkan kliennya untuk mengambil pengobatan tambahan ketika itu memang diperlukan, walaupun perusahaan kesehatan berencana menganggap pemberhentian harus terjadi. Kasus pengadilan ini melibatkan seorang pasien yang secara medis harus melakukan operasi, komplikasi dan meminta perusahaan kesehatan berencana untuk mendapatkan tambahan perawatan. Namun, UR menolak permintaan tersebut, dan si pasien dihentikan untuk mendapatkan pengobatan, sehingga darahnya beku dan kakinya harus diamputasi. Pasien tersebut menggugat State of California, dan UR menjadi yang pihak yang harus bertanggung terhadap pemberhentian pelayanan kesehatan yang lebih awal tersebut. Walaupun kasus ini berdasarkan sebuah masalah medis, provider kesehatan dan pengacara sering merujuk kasus ini secara kode etik dan klinik menganjurkan klien-klien untuk melakukan perawatan kesehatan mental (Newman & Dunbar, 2000).
            Kasus kedua, Wilson v. Blue Cross of Southern California (1990), menganggap bahwa seorang ahli pengobatan kesehatan mental tidak boleh menentang keputusan pengkaji penggunaan (UR). Namun, dalam hal tanggung jawab, keduanya ahli pengobatan mental dan UR secara undang-undang dalam resiko kelalain, yang membuat keduanya bertanggung jawab atas pemberhentian pengobatan. Kemudian, Supreme Court Decisions (Ruger, 2004) menemukan bahwa konsumen yang ditolak perawatan kesehatannya memiliki hak yang terbatas. Oleh karena itu, konselor profesional lebih baik menempatkan dirinya di posisi untuk menguatamakan kepentingan klien yang membutuhkan pengobatan kesehatan mental tambahan dalam pengobatan kesehatan berencana yang terbatas ketika UR menolak hal tersebut.
Jerome, laki-laki 43 tahun, dan telah menikah, dirujuk oleh perusahaan kesehatan berencananya untuk bertemu Dr. Francis, seorang ahli konselor yang sudah memiliki izin. Francis mengevaluasi Jerome dan melihat bahwa Jerome sedang dalam PTSD (post traumatic disorder (PTSD), akibat dari kejadian masa lalunya dalam pelecehan fisik dan seksual. Sang dokter kemudian membuat rencana pengobatan dan memita 12 sesi untuk terapi perilaku kognitif dengan review dari UR hanya 6 sesi.
Pada sesi ke-10, Jerome sudah bisa mengontrol sindrom PTSD-nya dan mengatakan sudah merasa lebih baik. Namun, pada sesi ke-11, Jerome mengatakan bahwa “Walaupun saya merasa lebih baik, istri saya mengatakan bahwa saya sering menjadi 3 orang yang berbeda. Minggu lalu, saya menemukan semua pakaian di lemari saya bukan style saya. Saya tidak membeli itu semua dan istriku bilang bahwa dia tidak membeli itu juga… saya tidak mengerti.”
Dr.Francis kemudian segera mempertimbangkan dan menduga mengalami DID (dissociative identify disorder). Francis kemudian kosultasi dengan supervisornya, yang menyarankan agar memanggil perusahaan kesehatan berencana tersebut dan meminta sebuah evaluasi dan sesi tambahan konseling. Namun, perusahaan tersebut mengatakan tidak bisa memberikan dana tambahan juga untuk sesi tambahan tersebut, oleh karena itu pengobatan kesehatan mental tersebut harus dihentikan.
Dr. Francis tidak percaya dengan hal tersebut dengan apa yang diucapkan oleh UR dan dia tetap menuntut perusahaan asuransi tersebut dengan mengisi surat permohonan sesuai prosedur. Dia diinfornasikan bahwa dia akan menerima pemberitahuan keputusan terakhir selama 30 hari ke depan. Namun, walaupun Dr. Francis tidak ahli dalam menangani DID, dia tatap terus menemui Jerome, yang jelas melanggar kontrak kesehatan berencana, dan tanpa memberitahu supervisornya.
Masalah kode etik yang timbul dari masalah ini kompleks dan dramatis. Konselor lebih sering dihadapkan dengan keputusan kode etik yang kompleks dari pada dengan keputusan kode etik yang bisa diuji.

Menghubungkan Kode Etik dengan Dunia Nyata Konseling
Dalam kasus Dr. Francis yang fiktif, dia dengan benar telah berkonsultasi dengan supervisornya dna mengikuti sarannya untuk memanggil perusahaan kesehatan berencana tersebut dan membuat surat permohonan kepada perusahaan asuransi tersebut untuk melalukan re-evaluasi. Namun, dia tidak mengkaji materi yang harus dengan jelas lebih dulu menginformasikan keputusannya (sebagaimana yang telah digambarkan dalam kode etik ACA dan APA). Ternyata, Dr. Francis juga lalai untuk berkonsultasi dengan supervisornya untuk memberitahukan keputusan penolakan UR. Kemudian, Dr. Francis juga lalai untuk mengakaji ulang kontrak dengan perusahaan kesehatan berencana tersebut mengigat konsekuensi kegagalan mengikuti petunjuk UR atau meneruskan pengobatan yang tidak resmi. Akhirnya, status dokter sebagai ahli pengobatan kesehatan mental menjadi bermasalah, dia mencari sebuah konsultasi resmi untuk membahas implikasi resmi dari pilihan keputusannya tersebut.
            Mungkin itu bisa dianggap tindakan terpuji bahwa Dr. Francis telah bertindak untuk kepentingan yang terbaik dari kliennya dengan melakukan sesi tambahan, tapi kenyataannya permintaan pengobatan yang sah hanya mengenai sindrom PTSD si klien, yang mana secara signifikan telah berkurang. Laporan klien mengenai sindrom tambahan yang dialami tidak berpotensi membahayakan diri klien atau orang lain.
            Masalah yang dihadapi Dr. Francis (seorang konselor yang telah memiliki izin) telah melanggar ACA of Code Ethics (2005, p.9), Bagian C.1 Standar Pengetahuan, Bagian C.2 Kompetensi Profesional. Berkaitan dengan Standar Pengetahuan, Kode Etik tersebut mengatakan: “Konselor bertanggung jawab untuk membaca, memahami dan mengikuti ACA Code of Ethics dan mengikuti aturan dan undang-undang yang dapat dipakai.” Oleh karena itu, Dr. Francis harusnya mengkaji dan mempertimbangkan masalah kode etik ini. Kemudian, tindakan Dr. Jerome untuk melakukan pengobatan DID symptomps, dia telah melanggar kode etik yang berkaitan dengan kompetensi konselor. Menurut ACA Code of Ethics, Bagian C.2.a mengatakan:
Konselor hanya boleh melakukan praktek sesuai batasan kompetensinya, berdasarkan pendidikan, training, pengalaman supervisi, negara, dan surat resmi pekerjaan negaranya, dan pengalaman pekerjaan yang berkaitan lainnya. Konselor mendapatkan pengetahuan, kesadaran pribadi, kepekaan, dan kemampuan berkomunikasi untuk melakukan praktek terhadap sebuah populasi klien yang berbeda.
Berdasarkan masalah yang dikembangkan dengan sebuah studi kasus tunggal, itu bisa dihipotesiskan bahwa berbagai masalah isu kode etik melekat dengan lingkungan praktek sesuai zaman juga bervariasi, unik, dan dengan mudah bisa dipecahkan saat itu juga, namun di waktu lain juga sedikit susah untuk diputuskan. Konselor professional akan terus menghadapi tuntutan untuk mengikuti kode etik dan standar praktek, dan di waktu yang sama, respon terhadap kebutuhan pengobatan klien bisa bertentangan dengan standar-standar praktek tersebut. Review dari beberapa kasus menganjurkan untuk melakukan analisa, refleksi, dan pertimbangan yang hati-hati dalam menggunakan beberapa sumber yang didesain untuk membuat sebuah rancangan untuk membuat keputusan yang terbaik.
Persiapan Kode Etik dalam Lingkungan Kesehatan Berencana
1.      Mulai dengan penilaian diri mengenai pemikiran, sikap, dan kepercayaan tentang keikutsertakan dalam lingkungan kesehatan mental yang direncanakan.
2.      Analisis kecocokan pendekatan terapi yang akan dilakukan terhadap seseorang untuk dalam proses konseling apakah cocok atau tidak cocok dengan kesehatan berencana. Berdasarkan sifat dan hasil dari review ini, realistis sekali untuk menilai ulang bagaimana menjadi konselor berdasarkan sistem seperti hal tersebut atau mendapatkan kompetensi tambahan.
3.      Hati-hati dalam mengevaluasi preferensi pribadi untuk melakukan konseling terhadap populasi klien yang spesifik atau berkaitan dengan penyakit psikologis tertentu. Misalnya, jika provider mencari konselor yang mempunyai keahlian dalam mengobati masalah penyakit makan, namun konselor tidak memiliki keahlian dalam hal tersebut, si konselor bisa mundur jika tidak bisa.
4.      Identifikasi bidang-bidang untuk improvisasi kompetensi dengan perhatian khusus terhadap kekurangan-kekurangan dalam dasar teoritis, pengetahuan dalam masalah diagnose, kebutuhan unik dari klien.
5.      Kembangakan sebuah rencana professional untuk mereview implikasi pengobatan konseling dan manajemen pada dasar regular berdasarkan kode etik. Ini bisa diselesaikan dengan kolega atau melalui konsultasi dengan supervisor.
PRAKTEK KONSELING: MENGHADAPI MASALAH KODE ETIK
Pembahasan mengenai masalah kode etik masa kini dalam profesi konseling bisa memasukkan setiap standar kode etik dalam sebuah kode etik dan menjangkau profesi konseling, psikologi dan pekerjaan sosial. Tujuan review ini, walaupun sejumlah tantangan dalam kode etik telah diidentifikasi adalah untuk fokus dalam evaluasi. Setiap masalah dalam kode etik diidentifikasi dengan ilustrasi yang fiktif disajikan untuk menggarisbawahi konteks masalah tersebut dan merangkum manajemen kode etik yang disajikan.
            Sebuah bagian penting dari pengembangan konselor secara professional dan pribadi adalah kesadaran diri. Ini penting sekali bahwa setiap konselor harus menentukan bagaimana latar belakang budaya dan nilai spiritual dan personal, dan kecondongan dari dampak negative dan positif dari hubungan sebuah terapi. Karena konselor tidak bebas dari kecondongan, maka penting untuk menggunakan praktek yang reflektif didesain untuk meminimalisir dampak yang bisa timbul ketika melakukan layanan konseling. Walaupun tindakan seperti hal tersebut mungkin tidak disengaja, namun itu bukan ketidakkompetenan budaya dan kurangnya kesadaran diri. Untuk menganggap bahwa pegetahuan teroritis dan inteversi klinik akan bekerja untuk semua klien menunjukkan apa yang Sue dan Sue (2003) gambarkan sebagai cultural encapsulation (fakta penting budaya).
            Dalam kode etik konselor yang sesuai dengan pentingnya pendirian sikap, posisi American Counseling Association sudah jelas, pasti, dan tercermin dalam kode etik (2005, p. 10):
Konselor tidak dimaafkan untuk melakukan tindakan diskriminasi berdasarkan umur, budaya, kecacatan, etnis, suku, agama, jender, identitas, orientasi seksual, status pernikahan/hubungan, bahasa, preferens, status ekonomi sosial, atau beberapa hal yang dilarang oleh hukum.
Dari perspektif tanggung jawab konselor untuk mengontrol kesadaran diri dan kepercayaan dan bagaimamana ini berdampak terhadap proses terapi, ACA Code of Ethics (2005, pp. 4-5) memberikan petunjuk yang jelas: “ \Konselor harus sadar mengenai nilai, sikap, kepercayaan, perilakunya dan menghindari nilai-nilai yang tidak konsisten dengan tujuan konseling.” Petunjuk tambahan juga disajikan oleh Association for Multicultural Counseling and Development (AMCD) (1991):
Secara kultural konselor yang cakap harus mencari pengalaman pendidikan, nasehat dan training untuk mengembangkan pemahaman dan keektifan dalam beraktivitas dengan populasi yang berbeda secara budaya. Dapat mengenal batasan kompetensinya, (a) mencari konsultasi, (b) mencari training dan pendidikan lebih jauh, (c) menghubungi individu dan sember yang memenuhi syarat atau (d) menggunakan kombinasi dari beberapa cara tersebut.
            Bagi psikolog, batasan kepekaan, dan mawas diri, dan praktek yang kompeten secara spesifik digambarkan di 2.01 dalam APA Code of Ethics (p.5) yang menekankan parameter pengetahuan yang professional dalam bidangnya harus memenuhi hal berikut:
Pemahaman dari faktor yang berhubungan dengan umur, jender, identitas, ras, etnis, budaya, asal kebangsaan, agama, orientasi seksual, kecacatan, bahasa, atau status ekonomi sosial adahal hal penting dalam implementasi yang efektif dari layanan atau penelitian. Psikolog harus mendapatkan training, pengalaman, konsultasi, atau supervisi untuk meyakinkan kompetensi mereka, atau mereka membuat petunjuk-petunjuk yang sesuai, kecuali yang ada dalam Standar 2.02, Menyediakan Layanan Gawat Darurat.
Untuk untuk mengimplementasikan praktek kode etik ini, konselor ingin untuk mengikuti sebuah sikap yang terbuka dan menerima terhadap orang-orang yang memiliki perbedaan. Keinginan ini diringkas oleh Roger dalam hal menghormati dengan positif dan tanpa syarat. Sama pentingnya, setiap konselor memegang keinginan untuk menjaga dan meyakinkan keselamatan klien setiap waktu yang mana hal yang bahaya bagi klien dicegah ketika sedang dalam perawatan. Dalam konteks ini, praktek kode etik dengan klien yang memiliki perbedaan harus terjaga dengan aman.



MASALAH KODE ETIK: BERBEDA KEPERCAYAAN DAN JANGAN MEMBAHAYAKAN
Perhatikan kasus fitif Claudia berikut ini. sebagaimana kasus ini dikaji, perhatikan berbagai masalah kode etik yang bermacam-macam yang berpotensi muncul dalam pemikiran konselor dan dinyatakan dalam sikap verbal dan non verbal:
Claudia, berumur 68 tahun, perpaduan Afrika-Amerika, lesbian dan mempraktekkan kepercayaan spiritualism (kepercayaan bahwa dia bisa berkomunikasi dengan orang mati) dan menderita kanker payudara. Pasangan lesbinya, 25, telah meninggalkannya dan bersama dengan wanita lain. Sebagai seorang spiritualis Claudia mendapatkan cinta dan pesan positif dari orang-orang yang dicintainya namun telah meninggal dunia yang membuat dia yakin dan tenang dengan kehidupan setelah mati dan kedamaain. Menerima bahwa kematian bukan lah sebuah masalah. Masalah yang dihadapi Claudia adalah perasaan sedih, marah, dan keadaan tertinggal karena Jodie telah meninggalkan dia.
Keluar dari keputus-asan, Claudia mencari daftar konselor yang ada dalam telponnya. Dia berharap nanti terapinya akan bisa menghilangkan kesedihannya dan beranjak dari keputus-asaannya. Ketika sesi pertama (evaluasi klinik), Claudia menceritakan tentang dirinya kepada Dr. Richards, namun dia merasa ketidaknyamanan dengan konselor tersebut, sebagaimana dapat dilihat dari expresi wajah dan bahasa tubuhnya.
Konselor tersebut mengatakan: “Claudia, kamu harus tahu bahwa saya tidak bisa melalukan ini bersama anda karena kepercayaan agama saya bertentangan dengan homeseksual dan spiritualism.” Dia terus menjelaskan pendangannya dan menyarankan jika dia masih berharap untuk memecahkan masalah-masalahnya, dia tetap akan bekerja dengan dia.
            Ini penting sekali untuk menggarisbawahi bahwa dengan contoh kasus fiktif tersebut, tujuan dari kasus ini adalah untuk menekankan masalah-masalah dalam kode etik, bukan debat mengenai hak konselor memegang kepercayaan atau agama yang berbeda dengan kepercayaan klien.
Pertimbangan Kode Etik: Membahayakan Keselamatan Klien
Sejumlah pelanggaran kode etik diilustrasikan dalam kasus Claudia. Pengalaman Claudia ketika masuk konseling dan bertemu seorang konselor dengan kepercayaan yang berlawanan dengan dirinya menghasilkan hal negative bagi Claudia. Tindakan sang konselor dengan jelas telah melanggar ACA Code of Ethics mengenai prinsip tidak melakukan hal yang berbahaya. Ketika melihat kasus ini dari perspektif klien, kemudian dari konselor, masalah kode etik bisa diidentifikasi, bisa dilihat maksud konselor untuk membantu klien tidak tercermin dalam tindakannya.
Dari perspektif Claudia, sebagaimana klien masuk konseling pertama kalinya dengan keadaan sedih dan sakit, sangat mungkin jika sekumpulan perasaan dirasakan (marah, sedih, ketidakpercayaan, merasa tidak dihormati dan dihargai). Bagi dia, keputusan dia bertemu dengan konselor, hasilnya sangat tidak memuaskan sekali.
Dari perspektif Dr. Richard, kemungkinan ada sebuah maksud untuk mencari masalah mendasar, untuk mengambil konseling yang cocok dan lazim bagi dia. Tujuan dari Claudi untuk melakukan konseling diselewengkan.
Menurut ACA Code of Ethics (2005, p.6), “Jika para konselor menentukan ketidakmampuan untuk menjadi konselor bagi klien, mereka menghindari masuk atau melanjutkan hubungan konseling. Konselor mempunyai pengetahuan tentang sumber rujukan yang cocok secara klinik dan kultural dan menyarankan beberapa alternatif tersebut.” Oleh karena itu, Dr. Richards, telah melanggar kode etik ini dengan tidak menghormati gaya hidup dan kepercayaan klien yang berpotensi membahayakan Claudia dengan tidak melindungi keselamatan psikologis dia. Harusnya Dr. Richards memberikan rujukan konselor bagi Claudia yang bisa mengesampingkan sitstem ideology dan kepercayaan klien.
Manajemen Kode Etik: Ruang Lingkup dari Praktek Refleksi Diri
Ketika dihadapkan dengan masalah perbedaan yang menggambarkan kebutuhan klien yang tidak lazim, bertentangan, atau si konselor tidak mampu untuk mengatasi, penting bagi konselor untuk berhenti sebentar, mempertimbangkan semua pilihan, dan menyusun sebuah keputusan yang menunjukkan praktek kode etik yang paling baik. Kenyataan dari gay, bagi beberapa kelompok agama konservatif dan ahli pengobatan, terus menjadi sebuah masalah yang berhubungan dengan kepercayaan yang si klien membutuhkan sebuah tranformasi spiritual dan terapi yang berlawanan untuk mempertimbangkan hetereseksual (Grant, & EPP, 1998; MCNeill, 1988; Nicolosi, 1991). Oleh karena, itu penting bahwa konselor harus hati-hati dalam mengkaji masing-masing kode etik untuk meyakinkan bahwa pemenuhan standar-standar ini dilakukan.
            Pemenuhan kode etik konselor professional itu penting, namun bisa dipengaruhi oleh sistem kepercayaan yang menunjukkan pandangan pribadi yang dipegang erat-erat. Ada beberapa persyaratan yang telah dutetapkan dalam profesi konseling untuk meyakinkan bahwa praktek sebuah pekerjaan yang bertugas membantu orang lain yang memiliki masalah mental memiliki karakter refleksi diri. Praktek ini dilakukan terhadap setiap klien yang sedang melakukan layanan konseling sebagai petunjuk yang mengarahkan dalam membuat keputusan, mendukung tindakan untuk mencari supervisi, dan membenarkan sebuah masalah dalam bertindak yang tidak efektif dan membahayakan orang lain.
Dalam kasus Claudia, Dr. Richards tidak konsultasi dengan ACA Code of Ethics dulu untuk menginfornasilan klien yang akan ditetapkan kembali tersebut dan juga tidak mencari supervisi untuk mengatasi konflik kepercayaan antara si klien dan konselor. Intervernsi paling langsung dalam situasi seperti tersebut, yang dibuat untuk menghindari bahaya dan tetap dalam ruang lingkup praktek konselor, adalah Dr, Richards menunjukkan kepekaannya terhadap permintaan dan masalah Claudia untuk mendapatkan konseling dan juga menghormati kepercayaannya. Masalah ini bisa selesai dengan cara mengakui kekurangan-mampuan untuk mengatasi masalah Claudia dengan misalnya mengatakan, “Claudia, Anda mengalami masalah yang emosional yang lumayan berat. Karena saya mempertimbangkan keselamatan Anda dan saya merasa kurang mampu untuk membantu masalah Anda, maka saya akan mereferensikan seorang konselor lain yang mempunyai keahlian untuk mengatasi masalah Anda.”
            Meskipun hal ini bisa menjadi perdebatan tentang bagaimana untuk mengungkapkan seperti di atas, pokok permasalahan yang teridentifikasi adalah bukti bahwa Dr. Richard telah melakukan refleksi diri mengenai kompetensinya untuk membantu klien tersebut bahwa dia tidak siap untuk membantunya, dan memberikan referensi konselor lain yang dibutuhkan Claudia.

MASALAH KODE ETIK: MENINGGALKAN KLIEN
Klien yang ikut konseling secara khusus mempunyai harapan bahwa kegiatan konseling akan selesai bersama konselor sesuai rencana pengobatan/penyembuhan yang disepakati dan pemahaman tanggung jawab sebagai klien atau pun penyedia pengobatan kesehatan mental. Untuk meyakainkan bahwa dasar ini dibangun dengan baik selama sesi penilaian awal, persetujuan yang sama-sama dipahami harus didapatkan. Sebagai bagian dari proses persetujuan, konselor menggunakan beberapa metode tentang kontak/hubungan, prosedur gawat darurat dan informasi mengenai ketidaksedian karena sakit atau waktu dari kantor. Setiap item informasi ini akan mendukung praktek kode etik ketika menentukan tingkatan kepercayaan dan harapan antara klien dan konselor. Yang melekat dalam proses ini adalah sebuah harapan bahwa konselor akan mau mendengarkan kebutuhan klien bersama dengan garis pedoman yang telah didiskusikan. Oleh karena itu, hubungan terapis bisa bergantung pada implementasi yang konsisten dari harapan yang saling dimengerti.
            Ketika harapan terhadap akses konselor tidak ditegakkan, klien akan ada dalam resiko yang berpotensi dalam situasi yang mengancam (Doverspike, 1999). Walaupun hal tersebut tidak dipandang sebagai hal yang sering terjadi, konsekuensi bagi klien dan koselor ketika melanggar kode etik yang terjadi bisa menjadi berat. Sebagaimana kasus Amber berikut ini, hasil yang tak baik bisa jadi tidak diharapkan.
Amber seorang wanita yang telah bercerai, 37, menderita penyakit yang depresif yang besar atau dikenal dengan istilah MDD (major deppresive disorder) (American Psychiatric Association), yang telah berusaha melakukan bunuh diri beberapa kali. Kemudian dia melakukan pengobatan dengan konseling kepada Dr. Clark. Kerika sesi kedua, Dr. Clark mengatakan, “ingat, saya di sini bersamamu.” Hari selanjutnya, Amber merasa ingin bunuh diri dan menghubungi kantor Dr. Clark hanya untuk mendapatkan pesan (surat) yang mengatakan, “Hello. Ini Dr. Clark, Saya sedang tidak di sni sekarang, tolong tinggalkan pesan.”
Gara-gara tidak ada kabar, Amber kemudian bingung, menulis catatan mengenai bunuh diri, minum sebotol obat antipanik. Amber sebelumnya merencanakan makan siang dengan teman kamarnya, Anna. Anna ketika Anna menghubungi Amber untuk mengingatkan makan siang mereka dan tidak ada respon, Anna kemudian pergi ke apartemennya dan menemukan catatan bunuh diri dan Amber tidak sadar. Anna kemudian menelpon 911, Amber kemudian dibawa ke ruang gawat darurat, ke ruang ICU (intensive care unit), dan setelah itu, kemudian dia dipindah ke unit penyakit jiwa.
Staff unit penyakit jiwa hal ini terjadi karena tidak adanya respon dari Dr. Clark atas panggilan kantor Amber yang ingin menghubungi dia. Seminggu setelah ini terjadi, Dr. Clark kembali karena panggilan rumah sakit dan mengatakan, “Saya minta maaf, ada masalah keluarga yang harus saya selesaikan, anak saya masuk rumah sakit, apakah Amber baik-baik saja? Kepala Unit Penyakit Jiwa tidak puas dengan respon dan tidak adanya pemberitahuan Dr. Clark yang menyebabkan keselamatan Amber terancam. Sebuah komplain terhadap Dr. Clark diajukan kepada American Counseling Association Ethics Committee.
            Dalam kasus ilustrasi ini, pertanyaan yang perlu ditanyakan adalah: Apakah Dr. Clark meninggalkan Amber dan k ien lainnya? Jawabannya adalah iya, menurut ACA Code of Ethics (2005, p.6) mengatakan, “konselor tidak boleh meninggalkan atau melalaikan klien dalam konseling. Counselor membantu dalam membuat perjanjian yang baik untuk pengobatan yang berkelanjutan, misalnya mengenai gangguan ketika dibutuhkan, seperti liburan, sakit, dan tindakan selanjutannya.” Sebuah aturan yang sama juga ditulis dalam APA Ethics Code (2002, p.7) yang menekankan tentang tugas seorang psikolog “untuk membuat usaha-usaha yang rasional untuk merencanakan layanan dimana layanan tersebut nanti ada gangguan seperti si psikolog karena sedang sakit, meninggal, tidak mampu, relokasi, atau pengunduran diri karena relokasi dari si pasien atau keterbatasan dana.”
Manajemen Kode Etik: PemberitahuAn yang Hati-hati
Bukanlah hal yang realistik jika konselor akan selalu bisa ada untuk kalian selama 24 jam tiap minggu, atau 365 hari setahun, tapi realistik sekali jika perjanjian dibuat untuk memberitahu kapan konselor bisa dan kapan konselor tidak bisa. Dalam kasus tersebut, perhatian Dr. Clark terhadap kliennya belum cukup rasional untuk meninggalkan klien dan meyakinkan bahwa pemberitahuan sudah dilakukan ketika keluarganya sedang dalam situasi gawat. Konselor diwajibkan untuk membuat rencana-rencana yang memadai bersama kliennya bahwa pengobatan tidak akan terlalu terganggu ketika konselor tidak bisa (VandeCreek & Knapp, 2001). Kemudian, secara khusus konselor harus menginformasikan kliennya bagaimana untuk mendapatkan layanan darurat jika emosinya atau kesehatan mentalnya dalam keadaan gawat. Kemungkinan-kemungkinan ini harus dimasukkan dalam proses pemberitahuan informasi, diperiksa dalam rencana pengobatan, dimasukkan dalam pesan voicemail, dan dihubungkan dengan konselor lain yang bisa dan ditunjuk sebagai konselor pengganti jika sedang tidak bisa.
MASALAH KODE ETIK: MEMPUNYAI DUA HUBUNGAN
Mungkin tidak ada topik lain yang berpotensi meyebabkan klien dalam bahaya dan berdampak pada keselamatan klien selain masalah memiliki dua hubungan. Dual relationship (memiliki dua hubungan) dianggap tidak benar dan tidak beretika dalam proses konseling, sebaliknya tindakan yang lain tidak akan mengakibatkan eksploitasi atau bahaya yang signifikan (Glass, 2003; Hill, 2001; Kolbert, Morgan & Brendel, 2002). Misalnya seorang konselor yang praktek bekerja di daerah pedesaan sering berinteraksi dengan klien di asosiasi guru-orang tua, di rumahnya, atau sambil shoping. Hubungan non-seksual ini harus ditegur dengan tindakan jelas karena akan membekas pada pandangan hidup konselor (Nigro, 2004). Kemudian, konselor harus sadar mengenai ketidaknyamanan yang diberikan provider untuk melayani orang yang mereka kenal dalam komunitasnya dan yang akan terus berinteraksi diluar aktivitas konseling (Nigro, 2004).
            Dengan rujukan masalah ini, ACA Code of Ethics (2005) menyediakan pedoman untuk mengatasi berbagai hal kapan konselor harus dan tidak harus berinteraksi di luar konteks konseling. Kode tersebut membahas tentang batasan interaksi dengan klien yang sedang dalam proses konseling (Bagian A.5.a), dengan mantan klien (A.5.b), hubungan atau interaksi tidak professional (A.5.c), hubungan yang menguntungan di luar hubungan konseling (A.5.d). Kode etik tersebut juga membahas kebutuhan konselor untuk menjaga kesadaran diri dan ada dalam prilaku yang sesuai dengan klien ketika peranannya berubah (misalnya dari konselor menjadi peneliti) (A.5.e). Pedoman tersebut menyediakan petunjuk yang jelas bagi konselor yang dibuat untuk menghindari munculnya masalah ketika dual relationship (memiliki dua hubungan) diketahui, tidak dilakukan dengan hati-hati, tidak dapat dihindari, atau dipertimbangkan.
            Dalam APA Ethics Code (2005, p.6), psikolog dinasehatkan untuk menahan:
Mulai dari memasuki sebuah hubungan yang sifatnya multi jika multi-hubungan tersebut diperkirakan akan merusak keobjektifan, kompetensi, atau keefektifan psikolog dalam fungsinya sebagai psikolog, atau kalau tidak berisko eksploitasi atau bahaya bagi orang yang menjalin hubungan kepadanya. Multi-hubungan yang tidak diharapkan untuk menyebabkan kerusakan, resiko eskploitasi atau bahaya adalah tidak tercela.
Konselor secara jelas ditegur untuk mengevaluasi dengan hati-hati resiko yang berpotensi untuk masuk ke dalam dual relationship dalam berbagai konteks yang mungkin bisa muncul. Itu adalah tanggung jawab konselor untuk meyakinkan bahwa hubungan seperti hal tersebut masih dalam batasan yang sempit dan masih bisa diterima berdasarkan kode etik.
            Sexual dual relationship (memiliki dua hubungan yang sifatnya seksual) sangat jelas membahayakan klien. Hubungan seperti hal tersebut sering menunjukkan hilangnya batasan konselor dan keburukan pribadi yang berpengaruh terhadap terapi (Corey, Corey, & Callahan, 2003; Doverspike, 1999). Untuk mengilustrasikan bahaya yang bisa dilakukan oleh konselor yang mengeskploitasi seorang klien untuk tujuan seksual, simak kasus fiktif dari Heather berikut ini.
Dr. Milton, seorang konselor yang memiliki izin dalam praktek yang sifatnya pribadi, sedang melakukan konseling dengan Heather mengenai keinginannya untuk bangkit dari keadaan setelah putus dengan dengan cowoknya. Karena baru cerai dari istrinya, Dr. Milton merasa kesepian dan sedih karena istrinya telah meninggalkannya karena seorang pria yang lebih muda darinya. Ketika melewati beberapa sesi bersama Heather, Dr. Milton merasa gaya pakaian Heather provokatif dan memperhatikan bahwa dia sering menyentuh lengannya untuk menekankan maksud yang dia sedang buat. Dia merasa terayu dengan sikap Heather kepadanya dan sering memperpanjang waktu sesi konseling dari 50 menit menjadi 10 menit. Dia juga telah menjadwalkan sesi bersama dia untuk yang terakhir sesuai perjanjian dan dia sedang memiliki fantasi seks tentang Heather yang juga berfikir bahwa dia adalah pasangan yang memungkinkan.
Dalam sebuah sesi ketika Heather merasa putus asa dan menangis karena ada kabar bahwa mantan cowoknya akan menikah, dia mengatakan, “saya merasa tak bisa dicintai dan sepi. Apakah saya tidak menarik?” Dr. Milton bilang “kamu sangat sedih dan kamu menanyakan tentang dirimu sendiri. Apakah kamu butuh sebuah pelukan?” Kedekatan ini memprakarsai sebuah hubungan seksual tersembunyi bersama Heather yang berlangsung selama waktu konseling.
Pertimbangan Kode Etik: Ketidakpatasan Seksual
Ada bagian yang jelas, pelanggaran kode etik yang serius digambarkan dalam kasus ilustrasi tersebut, apakah ketidakpantasan sekual tersebut disengaja atau tidak sengaja (Moleski & Kiselica, 2005). Hubungan seksual jelas dilarang dalam kode etik dan dianggap salah satu pelanggaran paling berat bagi konselor (Corey, Corey, Callahan, 2003; Doverspike, 1999). Dr. Milton telah melanggar batasan antara konselor dengan klien dengan memulai hubungan seksual dengan Heather dan kemudian melanggar kode eti mengenai dual relationships.ACA code of Ethics (2005, P. 5) secara spesifik mengatakan: “Interaksi/hubungan romantis atau seksual antara konselor dan klien bersama klien (yang sedang konseling), pasangan romantis konselor, anggota keluarga adalah dilarang.” Kasus ini menunjukkan bahwa amanah yang merupakan tanggung jawab untuk menjaga batasan-batasan sebagai konselor ada dalam diri konselor sendiri. Menggabungkan pelanggaran kode etik dan membahayakan Klien adalah penyalahgunaan kewenangan yang juga digambarkan. Kemudian, itu juga adalah bukti bahwa Dr. Milton tidak melakukan konsultasi dengan supervisor untuk mendiskusikan fantasi seksualnya dan perasaannya terhadap Heather atau dia telah mengabaiksn nasehat dari supervisornya untuk menghindari pelanggaran kode etik.
Manajemen Kode Etik: Menghindari Dual Sexual Relationship
Menghindari pelanggaran-pelangaran berat atau serius terhadap klien tergantung kepada praktek kesadaran diri yang melekat dalam diri, fungsi supervise klinik, dan perhatian terhadap faktor resiko kkode etik sedang praktek. Melihat masalah pribadai Dr. Milton yang berhubungan dengan percerainnya yang baru saja terjadi, dia seharusnya menghindari menghindari konseling dengan klien yang memiliki masalah yang mirip atau pastikan dia telah mencari supervisi berkenaan dengan pekerjaannya bersama Heather. Dia bisa juga menunjukkan Heather kepada provide lain, dengan mengakui bahwa resiko dirinya dan emosinya memungkinkan mempengaruhi keputusannya dan kompentensinya untuk membahayakan orang lain. Ketika melihat dari perpektif gagalnya Dr. Milton mengenali masalah-masalah pribadinya mengenai kesepiannya, keinginan untuk kesenangan emosional, kebutuhan seksual, dia telah melanggar kode etik yang sifatnya perintah: “Konselor harus siaga terhadap tanda-tanda perusakan atau pelanggaran yang berasal dari masalah fisik, mental dan emosi dari diri konselor dan menahan diri dari menawarkan atau menyediakan pelayanan yang sekiranya membahayakan klien atau orang lain” (ACA, 2005, p.9).
            Dari perspektif lain, psikolog yang telah melanggar standar kode etik APA dinasehati dengan jelas untuk “menahan dari memprakarsai sebuah aktivitas yang ketika mereka tahu atau seharusnya tahu bahwa ada masalah substansial bahwa masalah pribadi konselor akan mencegah aktivitas yang kompeten yang berkaitan dengan tugasnya” (APA,  2002m p.5). Jika konselor Heather adalah seorang psikolog, maka seharusnya perilaku Dr. Milton menunjukkan masalah pribadinya mengenai kesepiannya yang akan menciptakan pelanggaran terhadap pedoman praktek kode etik.
            Dual relationship sering dianggap problematis dan berkaitan dengan seringnya ada komplain yang serius terhadap konselor yang diajukan (Corey, Corey, & Callahanm 2003). Nonsexual relationships atau hubungan yang memiliki potensi lainnya akan terus dialami konselor yang berusaha untuk selalu bekerja dalam garis-garis pedoman kode etik. Sebaliknya, sexual relationship akan menjadi keputusan yang membahayakan karir, dan itu akan selalu menjadi masalah yang kontempore dalam profesi konseling.
MANAJEMEN RESIKO DAN MASALAH KODE ETIK
Walaupun itu akan menjadi kebenaran yang tak dapat disangkal bahwa masyarakat AS adalah masyarakat yang sering menggugat keputusan pengadilan/hukum (misalanya, masyarakatnya mudah untuk melakukan penggugatan berkenaan dengan kesalahan yang dirasakan dan nyata saat ada bukti yang kurang), itu juga adalah kebenaran yang tak dapat disangkal bahwa konselor harus memegang standar praktek konselor. Tanpa memperhatikan resiko yang sifatnya bermasyarakat untuk menjadikan persoalan dengan sebuah tuntutan perkara yang diajukan tehadap seorang konselor karena claim yang tidak mendukung, perlindungan paling baik dari konselor terhadap kejadian tersebut adalah praktek kode etik yang mengikuti kode etik pelaksanaan dan standar praktek. Dalam bab ini, masalah kode etik yang sering menjadi topik diskusi oleh para konselor saat seminar, selama supervisi, atau di dalam kantor dan keagenan telah dibahas. Karena ini adalah tanggung jawab konselor untuk memastikan bahwa sikap professional adalah jelas dan standar pengobatan selalu diikuti, maka manajemen resiko adalah dalam kontrol konselor (Doverspike, 1999). Manajemen resiko bisa didefinisikan sebagai istilah yang pro aktif untuk meringkas tema-tema yang dijelaskan dalam bab ini yang berhubungan dengan strategi manajemen resiko yang professional. Tindakan-tindakan yang diuraikan diambil dari sejumlah sumber menjelaskan profesi konseling dan menunjukkan sebuah tindakan yang masuk akal, cara berfikir, dan praktek membuat keputusan berdasarkan kode etik (Corey, Corey, & Callahan, 2003; Cottone, 2001; Doverspike, 199; Reamer, 2003).
1.      Mengikuti dan menggunakan kode etik sebagai dokumen hidup yang menyajikan petunjuk dalam membuat keputusan berdasarkan kode etik.
2.      Mencari konsultasi dan supervise dengan kolega, supervisor, dan para ahli dengan pengalaman dan pengetahuan mengenai praktek kode etik dalam konseling.
3.      Masuk dalam pendidikan yang kontinyu dan aktivitas pengembangan diri dengan sebuah penekanan yang termasuk dalam manajemen resiko, penelitian masa kini yang berkaitan dengan praktek konsleing, informasi yang berkaitan dengan peraturan dan resmi, literaturmasa kini sesuai bidangnya.
4.      Melakukan dokumentasi yang teliti mengenai jejak rekam klien, dari sesi supervisi, dan tindakan konsultasi yang diambil yang ada hubungannya dengan manajemen resiko dalam membuat keputusan.
5.      Melakukan praktek dalam ruang lingkup yang merupakan keahliannya dan menghindari untuk melakukan konseling terhadap beberapa orang, keluarga, pasangan atau kelompok otamg di luar parameter praktek.
6.      Mengikuti standar pengobatan yang bisa digunakan.
7.      Mendapatkan konsultasi atau bantuan resmi untuk memeriksa kepatuhan terhadap kode etik ketika berpraktek dan atau untuk maksud dalam merespon atau memulai tindakan menegenai pelanggaran-pelanggaran terhadap kode etik.
8.      Memastikan bahwa tindakan-tindakan mal-praktek terkontrol dan manfaat dan batasannya dipahami.


MENYIMPULKAN ULASAN
Praktek konseling berdasarkan kode etik dimulai selama proses pendidkan untuk persiapan ketika akan masuk dunia konseling yang professional. Itu terus berkelanjutan sebagai elemen dasar dalam sebuah praktek efektif dan perkembangan yang terus menerus sebagai seorang konselor professional. Proses ini adalah sebuah perjalanan professional yang terdiri atas pembelajaran, pendidikan, supervisi yang terus menerus, dan terus mengikuti literatur professional yang berkaitan dengan penelitian, intervensi konseling dan tren pengobatan dalam bidangnya. Kenalilah bahwa diri anda adalah bagian terpenting untuk melakukan pencegahan terjadinya bahaya terhadap klien.
            Sebagai konselor, itu tergantung dari masing-masing konselor untuk memastikan bahwa pengobatan konseling yang disajikan berdasarkan kode etik dan sesuai dengan standar praktek. Melalui penjelasan masalah-masalah yang diuraikan dalam bab ini, pembaca bisa bercermin kepada masalah-masalah yang dimunculkan dalam beberapa kasus fiktif di atas dan kepada penjelasan prinsip kode etik yang dikutip. Tujuan dari bab ini bukanlah sebagai kajian komprehensif terhadap semua masalah kode etik, konflik, atau tantangan, namun hanya untuk mengajak pembaca untuk berdiskusi. Walaupun ada kekuatan sosial, politik dan budaya yang bisa mempengaruhi kehidupan konselor dalam menyajikan layanan konseling, ganjaran/hadiah/upah dari mempraktekkan kode etik tidak lah bisa diukur.

0 komentar:

Posting Komentar