TUGAS KULIAH ISU ISU AKTUAL BKI
KODE ETIK BK |
Pekerjaan konseling dikelompokkan dalam tingkatan dinamisme, tuntutan
untuk merespon, dan kesempatan untuk mengatasi kesehatan mental dan kebutuhan
nasehat dari konsumen yang belum diketahui beberapa generasi sebelumnya. Ada
berbagai susunan teori, model-model terapi, intervensi pengobatan, dan penemuan
penelitian dari berbagai disiplin ilmu yang bersinggungan dengan cara
penyampaian layanan konseling kepada klien, kelompok dan masyarakat yang
berbeda-beda. Untuk mempersiapkan tuntutan ini, menjadi seorang ahli
pengobatan, khususnya mahasiswa lulusan
pendidikan konseling harus dilakukan untuk mengembangkan kemampuan teoritis dan
klinis dengan dasar yang berkelanjutan. Ada cakupan praktek yang penting dan
mendasar, walaupun membuat perhatian konsentrasi yang berbeda karena
masalah-masalah kritis yang muncul dalam masing-masing masalah praktek, yaitu: kode
etik.
Sekarang ini, persoalan terkait peranan kode etik yang mempuyai
peranan dalam praktek pengobatan semakin kuat (Urofsky & Engels, 2003).
Namun, konseptualisasi dan aplikasi kode etik bukanlah proses yang selalu
mudah. Ahli pengobatan klinis modern sekarang dihadapkan dengan berbagai
tantangan yang komplek, sifatnya filosofis, dan berhubungan dengan perubahan
sosial dan politik dalam praktek konseling (Jennings, Sovereign, Bottoroff,
Mussel, & Vye, 2005). Permasalahan-permasalahan tersebut biasanya merupakan
akibat dari perubahan sosial; pertanyaan-pertanyaan yang dihasilkan oleh
penelitian, pendidikan, ptaktek, nilai-nilai spiritual dan pribadi konselor dan
si klien; hukum, dan standar pengobatan.
Bab ini akan membahas mengenai peranan bahwa kode etik berperan
terkait dalam masalah-masalah praktek konseling masa kini. Tujuan dari tinjaun
ini ialah untuk menentukan masalah kode etik yang mendasar, yang memperkenalkan
bahwa pengobatan yang mendalam dalam setiap masalah ada dalam bahasan bab ini.
Pembahasan mengenai kode etik pengobatan akan dijelaskan untuk menunjukkan
kompleknya masalah dilema kode etik dan keputusan berdasarkan kode etik dalam
proses konseling. Bab ini juga diintegrasikan dengan pembahasan mengenai
masalah-masalah yang berhubungan dengan aplikasi kode etik dan standar praktek
konseling dari American Counseling Association (ACA) (www.counseling.org).
Walaupun kode etik ini sering dijadikan sebagai referensi pokok oleh konselor,
Ethical Principles of Psychologists and Code of Conduct juga akan dijadikan referensi
(www.apa.org) untuk
menggambarkan nilai-nilai dan kepercayaan-kepercayaan yang didiskusikan bersama
mengenai praktek kode etik yang dilakukan oleh ahli psikologi konseling.
PERANAN KODE
ETIK
Tanda resminya dari sebuah pekerjaan ialah terbangunnya kode etik
yang menjadi pedoman praktek. Sebuah asosiasi professional biasanya
mengembangkan kode etik, kemudian meminta anggotanya untuk mengikutinya.
Kelalaian dalam mengikuti kode etik bisa mengakibatkan adanya sanksi yang
dibebankan kepada pelanggar oleh sebuah asosiasi professional, namun tidak
mungkin secara konsisten menujukkan harus menjadi peraturan yang berhubungan
dengan pemerintah yang diimplementasikan menjadi sebuah lisensi. Kode etik
secara berkala direvisi atau berdasarkan jadwal sesuai AD/ART sebuah asosiasi
untuk menunjukkan penemuan dalam penelitian yang relevan, perbaikan sistem yang
resmi, dan praktek terbaik yang diketahui dan disetujui dalam profesi tersebut.
Prinsip mendasar dalam kode etik adalah untuk melindungi klien dari bahaya,
mendahulukan otonomi klien, dan meyakinkan bahwa bahwa ahli pengobatan klinik
tidak akan melakukan praktek di luar keahliannya. Keluhan yang sering diajukan
terhadap konselor biasanya adalah karena pelanggaran terhadap 3 prinsip
mendasar ini dan mengakibatkan adanya sangsi karena kelalaian, ketidakcakapan,
dan kegagalan berdasarkan standar pengobatan (Corey, Corey,& Callahan,
2003). Untuk meyakinkan bahwa kode etik yang professional dan persyaratan yang
resmi yang tertulis bisa bertanggung jawab untuk memantau dan mendisiplinkan
konselor menjadi sepaham, surat-surat resmi tersebut tentunya mengadopsi kode
etik tertentu (American Psychological Association, 2003).
Kode etik konseling mempunyai tujuan seperti sebagai berikut:
1.
Standar
kode etik meyakinkan bahwa hak dan keselamatan klien terjaga atau dihormati.
2.
Ketaatan
kepada kode etik meyakinkan bahwa konselor bekerja berdasarkan bidangnya yang
sudah terlatih dan kompeten.
3.
Kode
etik adalah panduan untuk perilaku-perilaku yang professional dan sebagai
rujukan jika bertentangan dengan kode etik.
Akhir-akhir ini, isu mengenai aplikasi
kode etik telah berperan besar dalam praktek pengobatan (Bricklin, 2001;
Urofsky & Engels, 2003). Ahli pengobatan, pendidik dan pemimpin asosiasi
professional mengetahui bahwa bagaimana kode etik dikonseptualisasikan secara
langsung berhubungan dengan bagaimana kode etik tersebut akan diaplikasikan.
Tidak adanya kejelasan antara maksud yang diinginkan dari sebuah kode etik
dengan kebutuhan dunia nyata dari konselor berhadapan dengan aplikasi kode etik
yang menunjukkan sebuah masalah dasar bahwa pekerjaan konseling secara kontinyu
harus berbicara. Misalnya, sebuah prinsip dasar dari kode etik ACA mengatakan
“jangan merusak konsep” (Bricklin, 2001). ACA mengatakan bahwa anggotanya harus
memajukan “perbaikan perkembangan manusia dalam hidup yang singkat ini. Anggota
asosiasi harus mengenal perbedaan dalam masyarakat kita dan merangkul
pendekatan lintas budaya dalam menyokong harga diri, martabat, potensi dan
keunikan masih masing individu” (www.counseling.org). Bagi para psikolog, pedoman
psikolog yang berjudul 2002 Ethical Principle of Psychologist and Code of
Conduct “membuat 4 aturan yang bisa dijalankan dalam bertindak sebagai psikolog
bagi anggota Asosiasi Psikolog Amerika. Dalam prakteknya, pertanyaan muncul
bagaimana seorang praktisi memenuhi tanggung jawab tersebut dalam ruang lingkup
yang sangat luas, seiring meningkatnya perbedaan populasi klien, dan dalam
menghadapi permintaan layanan, dana, atau sumber yang berkurang.
PERTIMBANGAN
FILOSOFIS: KODE ETIK YANG SIFAT PERINTAH DAN ASPIRASIONAL
Mencegah hal yang berbahaya terjadi pada klien dan menghormatinya
merupakan sebuah orientasi filosofis. Urofsky dan Eangels (2003, p. 126)
berkomentar mengenai kesadaran diri seorang konselor dan sebuah pemahaman
tentang bagaiamana intervensi konselor mempengaruhi semua proses penyembuhan,
begitu pula dampaknya terhadap masyarakat secara umum.
Masalah
filosofis, khusus yang berkaitan dengan filosofi moral, hampir mendasari semua
aspek konseling dan menuntut bahwa konselor mempunyai pemahaman tentang
konseling dan kode etik yang berlaku dalam pengetahuan dasar tentang kemampuan
konseling dan kode etik.
Para konselor memiliki pilihan apakah akan berjalan berdasarkan kode
etik dalam sebuah konteks hitam dan putih dimana setiap situasi terlihat
menutut sebuah pilihan dipaksakan diantara dua pilihan yang berlawanan (mandatory ethics), atau menggunakan
intervensi dan menjaga keselamatan klien yang sedang dalam keadaan buruk, yang
menyarankan sebuah pandangan melalui setiap situasi dilihat secara individual
dengan mengambil beberapa variabel dan sedikit tekanan pada sebuah pilihan yang
dipaksakan diantara pilihan-pilihan yang jelas (aspirational ethics). Beberapa peneliti (Jordan & Meara, 1990;
Kitchener, 1984; Meara, Schmidt, & Day, 1996) telah meneliti perbedaan
antara kode yang sifatnya perintah (mandatory) dan yang sifatnya aspirasional. Kode
etik yang sifatnya perintah biasa digambarkan oleh kode etik yang dibuat oleh
asosiasi professional dan tertulis resmi. Kode etik yang sifatnya perintah
dianggap kode etik yang dapat diterima dan merupakan standar resmi dalam
tindakan-tindakan professional, prosedur pengobatan, dan dalam keputusan
membuat berdasarkan kode etik. Sebaliknya, kode etik aspirasional merujuk pada
filsofi keselamatan klien dan menggambarkan sebuah transisi dengan melihat
tantangan kode etik dari pandangan yang sempit ke tingkatan yang lebih tinggi
dan dalam membuat keputusan (Bricklin, 2001).
Dari perspektif ini, ada beberapa konsep mendasar yang harus
dipertimbangkan, setiap individu menentukan masalah yang mana pekerjaan
konseling yang secara terus menerus harus berusaha dijaga (Bersoff, 1995;
Corey, Corey, & Callahan, 2003; Kitchener, 1984):
-
Otonomi:
menghormati hak-hak klien dalam membuat keputusan
-
Kebaikan:
mengimplementasikan pekerjaan konseling yang baik
-
Nonmaleficence: menghindari
hal-hal yang membahayakan dan merugikan bagi klien/Tidak berlarut larut
-
Keadilan:
membuat sebuah terapi yang yang aman dan terpercaya sesuai kepentingan klien
ketika datang pertama kali
Prinsip-prinsip mendasar tersebut bisa dilihat sebagai cerminan
dari perpekstif yang sifat perintah maupun aspirasional. Dari perspektif yang
sifatnya perintah, semua konselor professional dalam setiap konteks praktek
apapun harus mengikuti prinsip-prinsip ini. Perspektif aspirasional menambahkan
sebuah dimensi dari konteks terhadap aplikasi beberapa kode etik dengan
mengikuti setiap prinsip tersebut namun juga mempertimbangkan dampak-dampak di
sekitarnya. Sebagai contoh, seorang konselor bisa dikenai sangsi apabila
melanggar kode etik dengan mengumumkan informasi mengenai kliennya tanpa
izinnya. Namun, berdasarkan konteks pelanggaran tersebut bisa mengusulkan bahwa
beberapa faktor yang ada dalam situasi tersebut bisa mengurangi pelanggaran
tersebut ketika faktor-faktor tersebut dijelaskan. Dengan demikian, disarankan
bahwa meskipun mengaplikasikan kode etik ang sifatnya perintah sangat penting
untuk melindungi klien, perspektif yang sifatnya aspirasional bisa menambah
sebuah pandangan holistik terhadap pandangan-pandangan yang akan dibuat.
MASALAH POKOK KODE
ETIK: PENYAMPAIAN INFORMASI PERMASALAHAN
Informed
consent (penyampaian Informasi permasalahan) adalah istilah yang meliputi implikasi yang resmi dan berdasarkan
kode etik. Masalah-masalah yang berhubungan dengan meyakinkan izin tindakan
medis merupakan sesuatu yang pokok yang harus ada ketika akan memulai layanan
konseling atau aktivitas penelitian dan harus ada dibagian awal ketika proses
penyembuhan mau pun dalam penelitian (Corey, Corey, & Callahan, 2003; Leedy
& Ormrod, 2005). Konselor dan peneliti harus meyakinkan bahwa semua
kliennya dan partisipan penelitiannya kompeten dan mampu serta setuju dalam
melakukan penyembuhan atau diikursertakan dalam penelitian entah sifatnya suka
rela dan tanpa paksaan. Ada dua masalah yang secara langsung mempengaruhi izin
tindakan medis: bagaiman izin tindakan medis didapat dan bagaimana kompetensi
untuk memberikan izin ditentukan.
Mengkontruksi
Informasi
Untuk meyakinkan bahwa klien atau partisipan penelitian kompeten
dalam memberikan persetujuan, praktisi dan peneliti harus mengikuti petunjuk
secara konsisten dan jelas yang dirancang untuk melindungi segala aktivitas
konseling yang terlibat. Misalnya, untuk “memberikan persetujuan”, si klien
harus memahami layanan yang disediakan dalam berbagai dimensi yang
bermacam-macam. Oleh karena itu, bentuk penyampaian Informasi permasalahan kepada konseli harus
tepat dan detil mengenai masalah seperti: bayaran, hak yang diperoleh klien
atau partisipan, batasan kerahasiaan, intervensi konseling/penelitian, waktu
atau jadwal kegiatan/partisipan, resiko dan keuntungan aktivitas tersebut. Konselor
juga mempunyai tanggung jawab tambahan untuk menunjukkan beberapa hal seperti sebagai
berikut ini: bayaran, training yang sifatnya pengobatan atau mendidik, surat
izin, pendekatan teori, diagnosa klien dan rencana penyembuhan yang diajukan,
pilihan sesi darurat, kebijakan dan prosedur bagi klien yang sifatnya bukan
“tontonan” saja, dan memberikan informasi tentang waktu kosong yang dijadwalkan
atau ketidakhadiran yang diperpanjang oleh para praktisi.
Kompetensi dalam memberikan informasi
Dalam beberapa konteks, para praktisi dan peneliti bisa mengikuti petunjuk
yang ditetapkan dengan baik untuk mendapatkan izin tindakan medis. Tetapi,
populasi klien tertentu menentukan beberapa pertimbangan ketika memikirkan
metode-metode untuk meyakinkan bahwa izin tindakan medis dibutuhkan dan
diterima. Misalnya, menentukan kompetensi dan kemauan yang bebas untuk
memberikan izin berhadapan dengan orang yang belum dewasa, klien yang ada dalam
pengadilan, dan individu yang lemah kognitifnya. Salah satu solusi untuk dilema
ini adalah dengan menentukan siapa yang memegang perwalian resmi terhadap klien
dan dengan mendapatkan izin orang tua/wali untuk merawat.
Untuk meyakinkan bahwa penyampaian Informasi
permasalahan dan hak untuk mendapatkan informasi dihormati, sambil mendukung
hubungan antara konselor-klien, konselor atau peneliti bisa memberitahukan
setiap bagian dalam proses penyembuhan mengenai beberapa parameter kerahasiaan.
Beberapa isu yang berhubungan dengan izin tindakan medis juga berhubungan
dengan perubahan-perubahan dalam cara pembayaran dalam negara maju (misalnya
perawatan yang teratur) seperti halnya kebijakan pemerintah bagaimana informasi
tentang klien tersebar dan terlindungi.
MASALAH POKOK KODE
ETIK: MEMBUAT KEPUTUSAN BERDASARKAN KODE ETIK
Sebagaiamana sebelumnya disebutkan bahwa, kode etik adalah petujuk
dalam praktek dan pelaksanaan yang professional. Berdasarkan pernyataan
tersebut, beberapa berpendapat bahwa kode etik dengan sendirinya tidak selalu
memberikan sebuah solusi yang pasti dalam beberapa masalah (Bersoff, 1995;
Corey, Corey, & Callahan, 2003; Kitchener, 1984; Urofsky & Engels,
2003). Untuk menanggapi isu ini, beberapa praktisi dan peneliti telah
mengajukan beberapa rancangan dalam beberapa masalah yang bisa didiskusikan.
Beberapa masalah rancangan konseptual ini strukturnya sama, terdiri dari
beberapa langkah yang spesifik seperti dalam mengidentifikasi beberapa masalah,
mengkaji ulang kode etik, mempertimbangkan beberapa pilihan dan kosekuensi yang
positif dan negatif, mencari pengawasan yang tajam, klinis dan formal,
mendapatkan nasehat yang resmi, mendokumentasikan hasil dari setiap pertemuan,
menyelidiki perasaan dan proses pemikiran seseorang, dan menggambarkan apa yang
telah dipelajari. Langkah-langkah tambahan lainnya ialah menentukan dan
menindaklanjuti pilihan yang terbaik dan mengevaluasi hasilnya.
Secara jelas, sebuah proses dalam membuat keputusan yang
terstruktur yang mendukung konselor menghadapi masalah dalam praktek kode etik.
Kemudian, sebuah proses dalam menentukan keputusan yang konsisten juga membantu
perkembangan sebuah proses pemikiran yang bisa menjadi “dasar kedua”. Dengan
kata lain, konselor menghadapi masalah yang lebih sedikit ketika dia yakin
bagaimana setiap situasi didekati, diteliti, dan diputuskan. Menggunakan ini,
proses membuat keputusan yang terstruktur cocok dengan kode etik yang sifatnya
perintah atau bahkan dalam resolusi masalah kode etik yang aspirasional. Ini
merupakan proses yang diikuti dengan sikap yang konsisten yang mengizinkan
konselor untuk membuat keputusan berdasarkan berdasarkan kode etikseraya
mengurangi ketidakpastian.
MASALAH POKOK KODE
ETIK: KERAHASIAAN DAN KOMUNIKASI PRIBADI
Kerahasiaan dan komunikasi pribadi merupakan konsep yang terdiri dari komponen yang
resmi dan berdasarkan kode etik. Beberapa mengatakan bahwa kerahasiaan adalah
dasar hubungan konseling dan itu yang membuat kepercayaan dan hubungan (Corey,
Corey & Callahan, 2005; Herlih & Corey, 1996). Dengan kepercayaan yang
kritis adalah elemen penting dalam hubungan antara konselor dan klien, konselor
membuat setiap upaya untuk menegakkan kerahasiaan, dan klien menganggap rahasia
yang diungkapkan ketika dalam proses konseling terlindungi (Glosoff, Herlihy,
& Spence, 2000). Cukup sering, klien secara sukarela akan menadatangani
surat bebas informasi bagi konselor untuk memperlihatkan informasi tertulis
atau verbal yang terbatas. Walaupun izin demikian sering dibolehkan, begitu
pula dalam kasus mengabarkan hal yang baru kepada penyedia kesehatan lain,
sistem pendidikan, pengacara dan hal penting lainnya – ada kesempatan kapan
konselor dihadapkan dengan sebuah panggilan sidang dari pengadilan untuk
mengungkapkan materi yang sifatnya rahasia (Coret, Corey, & Callahan,
2005).
Panggilan pengadilan menjadi problema bagi konselor ketika klien
tidak berharap catatan-catatannya diungkapkan (Glosoff, Herlihy, & Spence,
2000). Masalah sentral dalam situasi ini adalah perbedaan antara apa yang klien
pahami sebagai hal yang “istimewa” atau “rahasia” dan seperti apa yang dianggap
oleh institusiti hukum atau ahli undang-undang. Misalnya, seorang konselor
mendapatkan panggilan dari pengadilan untuk memberikan kesaksian atau diminta
untuk menyerahakan catatan-catatan hasil konseling. Jika ‘keistimewaan’
konselor ridak ditegakkan (sebagaimana ditentukan oleh pengadilan), konselor
harus tunduk terhadap permintaan pengadilan untuk menghindari sebuah penghinaan
terhadap peraturan pengadilan (Glosoff, Herlihy, & Spence, 2000). Ketika
dihadapkan dengan hal tersebut, konselor disarankan untuk menginformasikan
kepada kliennya mengenai permintaan pengadilan tersebut kemudian mencari
konseling yang resmi sebelum merespon permintaan pengadilan. Bagi konselor,
masalah sentral dalam situasi yang berlawanan tersebut adalah perlindungan
mengenai informasi klien dan hal yang terkait selama proses penyembuhan.
Berdasarkan beberapa masalah kode etik, tindakan konselor untuk memberikan
informasi klien mengenai permintaan pengadilan yang diminta oleh pihak ketiga bisa
mengurangi gangguan hubungan penyembuhan. Konsultasi dengan supervisor atau
kolega yang berpengalaman dengan masalah seperti disarankan sekali.
Parameter ‘komunikasi istimewa’ ditetapkan oleh undang-undang resmi
atau hukum. Ini secara spesifik menyatakan secara tidak langsung bahwa klien
memiliki hak yang resmi untuk tidak mengesahkan beberapa informasi untuk
diberikan kepada pengadilan/orang lain. Penting untuk dinyatakan kembali bahwa
‘komunikasi istimewa’ tidak dimiliki oleh konselor, namun oleh klien (Corey,
Corey, & Callahan, 2003).
Melanggar
Kerahasiaan
Ada beberapa masalah lain dimana konselor harus menguraikan
kerahasiaan klien. ACA Code of Ethics and Standards of Practice (2005)
mengatakan bahwa ketika si klien dalam resiko yang membahayakan dirinya atau
orang lain, kerahasiaan bisa dilanggar. Beberapa misalnya seperti berikut ini:
-
Klien
melaporkan mengenai keterlibatannya dalam kekerasan seksual terhadap anak-anak
atau dewasa.
-
Klien
menceritakan maksud dan ide bunuh diri.
-
Ahli
pengobatan menilai resiko klien untuk bunuh diri sudah meemenuhi kriteria.
-
Ada
bukti bahwa si klien mengalami kemunduran psikologi untuk menjaga dirinya
sendiri.
-
Ada
resiko pembunuhan yang ditujukan kepada orang lain oleh si klien.
Bagi para psikolog, mengikuti APA Ethics Code (2005, p.8),
mengungkapkan informasi rahasia bisa diterima untuk alasan yang serupa seperti
berikut ini, untuk:
1.
Memberikan
layanan professional yang dibutuhkan.
2.
Mendapatkan
konsultasi yang professional yang cocok.
3.
Melindungi
klien/pasien, psikolog, atau orang lain dari bahaya.
4.
Mendapatkan
bayaran dari klien/pasien atas layanan yang telah diberikan, yang mana misalnya
pengungkapan rahasia dibatasi berdasarkan upah minimum yang dibutuhkan untuk
mendapatkan apa yang telah dimaksudkan.
Tugas untuk
Memperingatkan
Mengungkapkan kerahasiaan karena ada resiko bunuh diri atau
membunuh orang lain secara khusus ditetapkan dan dipengaruhi oleh hukum,
undang-undang dan aturan pengadilan dan dikenal sebagai ‘tugas untuk
memperingatkan’ dan ‘tugas untuk melindungi”. Konsep dasar peringatan-peringatan
ini dalam standar prakteknya bahwasanya ahli pengobatan/konselor harus
melindungi klien dari dirinya sendiri atau dari orang lain (Melby, 2004). Oleh
karena itu, konselor harus aktif mengevaluasi kliennya, berkonsultasi dengan
supervisor, bisa memutuskan apakah kliennya dalam resiko yang bisa membahayakan
dirinya sendiri atau orang lain (Gross & Robinson, 1987).
Standar ada setelah terjadi kasus Tarasoff. Pada tahun 1996,
seorang mahasiswa University of California di Berkeley, yang bernama Prosenjit
Poddar, bercerita kepada psikolognya mengenai rencananya untuk membunuh Tatiana
Tarasoff, seorang wanita yang telah menolak rayuannya. Psikolog yang diceritai
oleh Poddar kemudian berkonsultasi dengan supervisornya dan diberi nasehat
untuk tidak memberitahukan informasi tersebut kepada Tarasoff. Psikolog
tersebut kemudian mengikuti saran supervisornya, dan beberapa munggu kemudian,
Poddar membunuh Tarasoff (Corey, Corey, & Callahan, 1995, Melby, 2004).
Kasus tersebut kemudian menjadi kasus kode etik klasis yang menjadi
perbicangan, debat dan diskusi. Beberapa tahun yang kemudian, setiap profesi
yang berhubungan dengan kesehatan mental menetapkan adanya persyaratan untuk
melanggar kerahasiaan.
Tugas untuk Memperingatkan dan HIV
Belakangan ini, tugas untuk memperingatkan kepada klien yang
menderita HIV/AIDS telah dijelaskan. Para ahli pengobatan dan peneliti telah
mendiskusikan mengenai implikasi yang resmi dan berdasarkan kode etik terhadap
klien yang positif AIDS, sebagai contoh kasus berikut.
Joey, 37 tahun,
tampan, pekerja dan sudah bercerai dengan istrinya. Dia sangat atraktif dan
ceria. Pernikahannya retak karena dia sering bermain wanita yang dia kenal
melalui internet. Sehingga bisa diindikasikan bahwa dia kemanan kesehatan
seksualnya tidak terjaga. Kemudian dia bertemu dengan seorang wanita lain yang
dia merasa cinta. Joey bercerita kepada konselornya bahwa “wanita yang baru
dicintainya itu meminta dia test HIV.” Dua minggu kemudian Joey datang ke
konselor itu lagi dan dengan tidak percaya dia menceritakan bahwa hasil tesnya
menunjukkan ia positif HIV. “Saya tidak akan menceritakan hal ini kepada wanita
saya, saya takut dia meninggalkan saya.”
HIV/AIDS adalah penyakit seks yang menular dan mematikan.
Berdasarkan kasus ini ada berbagai masalah kode etik yang muncul. Lalu
bagaimana pemecahannya?
Berdasarkan
masalah kode etik mengenai penyakit yang fatal dan menular, ACA memberikan
solusi yang jelas dengan menyajikan petunjuk yang jelas.
Konselor
dibenarkan untuk memberikan informasi kepada orang ketiga yang telah diketahui,
jika mereka diketahui akan mendapatkan resiko penyakit yang berbahaya. Sebelum
melakukan pengungkapan rahasia, konselor harus mengkonfirmasi bahwa sudah ada
diagnosa dan menaksir apakah ada maksud klien untuk menginformasikan pihak
ketiga tentang penyakitnya atau apakah klien akan bertindak hal yang
membahayakan kepada pihak ketiga.
Setiap langkah yang dilakukan menuntut pemikiran yang mendalam,
penjelasan yang hati-hati dari tindakan yang diambil, dan metode untuk
memeriksa rencana tersebut telah diterapkan.
1.
Tentukan
apakah si klien aktivitas seksnya terlindungi atau tidak.
2.
Tentukan
apakah si klien telah memberitahukan status HIVnya kepada seorang atau beberapa
partner.
3.
Tentukan
juga siapa partner/ pasangan klien tersebut.
4.
Yakinkan
apakah klien akan memberitahukann status HIVnya:
a.
Jika
ya, maka agendakan pertemuan antara si klien dengan pasangannya untuk
mengkonfirmasikan apakah kliennya telah menceritakan kepada pasiennya atau
tidak.
b.
Jika
ya, klien harus mendatangani surat pembebasan informasi sebelum agenda
pertemuan tersebut.
c.
Jika
ya atau tidak, jelaskan mengenai pilihan untuk membuat perjanjian seks yang
aman bahwa klien akan menandatangani dan setuju untuk mematuhi pasangannya.
d.
Carilah
konsultasi dan pengawasan klinik. Dengan hati-hati dokumentasikan semua
persetujuan, kontrak dan kegiatan klien.
PENGOBATAN YANG
DIATUR DAN DILEMA KODE ETIK
Sebagaimana biaya kesehatan naik, perusahaan-perusahaan asuransi
kesehatan merencanakan sebuah sistem kesehatan yang dikenal dengan ‘managed care (pengobatan yang teratur)’, yang
didesain untuk mengontrol dan memantau meningkatnya biaya kesehatan. (Dombeck
& Olsan, 2002). Itu dianjurkan agar perusahaan tersebut bisa meyakinkan
bahwa biaya pengobatan yang efektif akan terjadi dengan melakukan kontrak
bersama provider yang disepakati untuk menawarkan waktu pengobatan yang terbatas.
Secara umum, yang ditekankan dari pengobatan konseling bergerak dari terapi
psychodynamic jangka panjang ke terapi perilaku-kognitif yang singkat yang
menyentuh pertimbangan klien mengenai masalah apakah harian, mingguan, atau
sebulan (deShaxer, 1985; Evans, Valades, Burns. & Rodriguex, 2002).
Walaupun ada
berbagai macam cara bagaimana setiap rencana kesehatan yang diatur melaksanakan
pengobatannya, persetujuan rencana pengobatan, atau pengkajian terhadap
perkembangan pengobatan, masalah kode etik yang berhubungan dengan proses ini merupakan
sumber pertimbangan bagi konselor. Misalnya, rencana pengobatan yang cukup
sering diserahkan kepada sebuah utilization reviewer (peninjau penggunaan) /
UR, yang menyepekati rencana pengobatan dan sejumlah agenda khusus. UR tersebut
tidah membutuhkan master atau ahli pengobatan yang memiliki izin. Fokus dari
review ini adalah untuk meyakinkan bahwa biaya dimasukkan dan pengobatan
tersebut dipertimbangkan sebagai kebutuhan medis untuk menstabilkan klien
secara psikologis.
Kemudian dalam
pengobatan kesehatan mental, hubungan antara ahli pengobatan kesehatan mental
dan klien telah di ditransformasikan. Klien mendapatkan akses provider/penyedia
konseling melalui sebuah daftar provider, dan pihak ketiga (UR) diikutsertakan
untuk menentukan apakah otorisasi pengobatan akan berlangsung atau diakhiri
berdasarkan dokumen yang yang diserahkan dalam surat rencana kesehatan
tersebut. Untuk dikutsertakan dalam sebuah panel provider, provider sepakat
memenuhi persyaratan rencana tersebut. Dari perpektif kode etik, konselor bisa
dihadapkan dengan sebuah masalah kode etik yang mengikutsertakan kebutuhan
untuk terus menyediakan pengobatan berdasarkan parameter yang ada dalam kontak
provider. Haruskah pengobatan diteruskan atau dihentikan berdasarkan
masalah-masalah ini? apa resikonya bagi konselor dan klien? Apakah sebuah isu kode
etik berkaitan dengan pemberhentian pengobatan karena kemungkinan pembayaran
tidak diteruskan? Atau haruskah itu diatasi hanya karena untuk menghindari pelanggaran
karena jabatan?
Ada manfaat dan batasan menjadi sebuah provider layanan konseling
kesehatan mental bagi perusahaan yang menyediakan pengobatan yang diatur
(managed care) (Scaturo, 2002). Keuntungannya jelas sekali, memasukkan sebuah
sumber yang yang bisa dipercaya dari apa yang diserahkan klien, dan walaupun
tarif bayaran lebih rendah dari standar pembayaran layanan konseling di
masyarakat, tetapi ada sebuah sumber konsisten mengenai pendapatan dari
pengobatan yang diatur. Perusahaan kesehatan berencana menyediakan ‘uang jasa’
bagi konselor yang dapat mempercepat prosess penyembuhan menghentikan klien
(Danzinger & Welfel-Reynolds, 2001; Sanchez & Turner, 2003).
Pembatasan untuk
berpartisipasi sebagai provider panel kesehatan berencana sering menekankan
pada pembatasan yang ditempatkan pada sejumlah agenda yang disahkan, metode
yang digunakan untuk melakukan konseling, dan menggunakan model penyembuhan dan
intervensi yang tidak kongruen dengan orientasi klinik atau teoritis dari
konselor. (Danzinger & Welfel-Reynold, 2001). Tantangan lain termasuk
ketidaksepakatan dengan keputusan UR terhadap semua proses penyembuhan, mulai
dari frekuensi kegiatan, ketidakcocokan dengan diagnosa, pemberhentian lebih
awal ketika ahli pengobatan menganggap itu tidak baik untuk melakukan tindakan
tersebut, penolakan untuk mengesahkan sesi tambahan, dan konflik antara
kebijakan perusahan kesehatan berencana dan prosedur yang merupkan nilai dan
kode etik konselor (Sanchez & Turner).
Reaksi terhadap
proses UR yang dilakukan oleh beberapa individu yang mungkin bukan konselor
yang sudah memiliki izin, secara kode etik dianggap hal yang mencurigakan bagi
kerahasiaan pasien. Walaupun prosedur dan praktek kesehatan berencana dalam
beberapa hal menuntut akan butuhnyaa kerahasiaan klien, persyaratan untuk
mendokumentasikan penyembuhan kepada pihak ketiga yang mungkin memiliki surat
izin dan memenuhi syarat atau tidak, tetap merupakan masalah yang sulit dalam
konseling yang mempertimbang perspektif kode etik bagi pelanggan (Danzinger
& Welfel-Reynolds, 2001; Sanchez & Turner, 2003).
Masalah
Undang-undang dan Kesehatan yang Direncanakan
Sebuah kasus pengadilan yang penting, Wickine v. State of
California (1987), membuat sebuah tindakan yang harus dicontoh bahwa konselor
atau tenaga kesehatan harus menganjurkan kliennya untuk mengambil pengobatan
tambahan ketika itu memang diperlukan, walaupun perusahaan kesehatan berencana
menganggap pemberhentian harus terjadi. Kasus pengadilan ini melibatkan seorang
pasien yang secara medis harus melakukan operasi, komplikasi dan meminta
perusahaan kesehatan berencana untuk mendapatkan tambahan perawatan. Namun, UR
menolak permintaan tersebut, dan si pasien dihentikan untuk mendapatkan pengobatan,
sehingga darahnya beku dan kakinya harus diamputasi. Pasien tersebut menggugat
State of California, dan UR menjadi yang pihak yang harus bertanggung terhadap
pemberhentian pelayanan kesehatan yang lebih awal tersebut. Walaupun kasus ini
berdasarkan sebuah masalah medis, provider kesehatan dan pengacara sering
merujuk kasus ini secara kode etik dan klinik menganjurkan klien-klien untuk
melakukan perawatan kesehatan mental (Newman & Dunbar, 2000).
Kasus kedua,
Wilson v. Blue Cross of Southern California (1990), menganggap bahwa seorang
ahli pengobatan kesehatan mental tidak boleh menentang keputusan pengkaji
penggunaan (UR). Namun, dalam hal tanggung jawab, keduanya ahli pengobatan
mental dan UR secara undang-undang dalam resiko kelalain, yang membuat keduanya
bertanggung jawab atas pemberhentian pengobatan. Kemudian, Supreme Court
Decisions (Ruger, 2004) menemukan bahwa konsumen yang ditolak perawatan
kesehatannya memiliki hak yang terbatas. Oleh karena itu, konselor profesional
lebih baik menempatkan dirinya di posisi untuk menguatamakan kepentingan klien
yang membutuhkan pengobatan kesehatan mental tambahan dalam pengobatan
kesehatan berencana yang terbatas ketika UR menolak hal tersebut.
Jerome,
laki-laki 43 tahun, dan telah menikah, dirujuk oleh perusahaan kesehatan
berencananya untuk bertemu Dr. Francis, seorang ahli konselor yang sudah
memiliki izin. Francis mengevaluasi Jerome dan melihat bahwa Jerome sedang
dalam PTSD (post traumatic disorder (PTSD), akibat dari kejadian masa lalunya
dalam pelecehan fisik dan seksual. Sang dokter kemudian membuat rencana
pengobatan dan memita 12 sesi untuk terapi perilaku kognitif dengan review dari
UR hanya 6 sesi.
Pada sesi
ke-10, Jerome sudah bisa mengontrol sindrom PTSD-nya dan mengatakan sudah
merasa lebih baik. Namun, pada sesi ke-11, Jerome mengatakan bahwa “Walaupun
saya merasa lebih baik, istri saya mengatakan bahwa saya sering menjadi 3 orang
yang berbeda. Minggu lalu, saya menemukan semua pakaian di lemari saya bukan
style saya. Saya tidak membeli itu semua dan istriku bilang bahwa dia tidak
membeli itu juga… saya tidak mengerti.”
Dr.Francis
kemudian segera mempertimbangkan dan menduga mengalami DID (dissociative
identify disorder). Francis kemudian kosultasi dengan supervisornya, yang
menyarankan agar memanggil perusahaan kesehatan berencana tersebut dan meminta
sebuah evaluasi dan sesi tambahan konseling. Namun, perusahaan tersebut mengatakan
tidak bisa memberikan dana tambahan juga untuk sesi tambahan tersebut, oleh
karena itu pengobatan kesehatan mental tersebut harus dihentikan.
Dr. Francis
tidak percaya dengan hal tersebut dengan apa yang diucapkan oleh UR dan dia
tetap menuntut perusahaan asuransi tersebut dengan mengisi surat permohonan
sesuai prosedur. Dia diinfornasikan bahwa dia akan menerima pemberitahuan
keputusan terakhir selama 30 hari ke depan. Namun, walaupun Dr. Francis tidak
ahli dalam menangani DID, dia tatap terus menemui Jerome, yang jelas melanggar
kontrak kesehatan berencana, dan tanpa memberitahu supervisornya.
Masalah kode etik yang timbul dari masalah ini kompleks dan
dramatis. Konselor lebih sering dihadapkan dengan keputusan kode etik yang
kompleks dari pada dengan keputusan kode etik yang bisa diuji.
Menghubungkan
Kode Etik dengan Dunia Nyata Konseling
Dalam kasus Dr. Francis yang fiktif, dia dengan benar telah
berkonsultasi dengan supervisornya dna mengikuti sarannya untuk memanggil
perusahaan kesehatan berencana tersebut dan membuat surat permohonan kepada
perusahaan asuransi tersebut untuk melalukan re-evaluasi. Namun, dia tidak
mengkaji materi yang harus dengan jelas lebih dulu menginformasikan
keputusannya (sebagaimana yang telah digambarkan dalam kode etik ACA dan APA).
Ternyata, Dr. Francis juga lalai untuk berkonsultasi dengan supervisornya untuk
memberitahukan keputusan penolakan UR. Kemudian, Dr. Francis juga lalai untuk
mengakaji ulang kontrak dengan perusahaan kesehatan berencana tersebut mengigat
konsekuensi kegagalan mengikuti petunjuk UR atau meneruskan pengobatan yang
tidak resmi. Akhirnya, status dokter sebagai ahli pengobatan kesehatan mental
menjadi bermasalah, dia mencari sebuah konsultasi resmi untuk membahas
implikasi resmi dari pilihan keputusannya tersebut.
Mungkin itu bisa
dianggap tindakan terpuji bahwa Dr. Francis telah bertindak untuk kepentingan
yang terbaik dari kliennya dengan melakukan sesi tambahan, tapi kenyataannya
permintaan pengobatan yang sah hanya mengenai sindrom PTSD si klien, yang mana
secara signifikan telah berkurang. Laporan klien mengenai sindrom tambahan yang
dialami tidak berpotensi membahayakan diri klien atau orang lain.
Masalah yang
dihadapi Dr. Francis (seorang konselor yang telah memiliki izin) telah
melanggar ACA of Code Ethics (2005, p.9), Bagian C.1 Standar Pengetahuan,
Bagian C.2 Kompetensi Profesional. Berkaitan dengan Standar Pengetahuan, Kode
Etik tersebut mengatakan: “Konselor bertanggung jawab untuk membaca, memahami
dan mengikuti ACA Code of Ethics dan mengikuti aturan dan undang-undang yang
dapat dipakai.” Oleh karena itu, Dr. Francis harusnya mengkaji dan
mempertimbangkan masalah kode etik ini. Kemudian, tindakan Dr. Jerome untuk
melakukan pengobatan DID symptomps, dia telah melanggar kode etik yang
berkaitan dengan kompetensi konselor. Menurut ACA Code of Ethics, Bagian C.2.a
mengatakan:
Konselor hanya
boleh melakukan praktek sesuai batasan kompetensinya, berdasarkan pendidikan,
training, pengalaman supervisi, negara, dan surat resmi pekerjaan negaranya,
dan pengalaman pekerjaan yang berkaitan lainnya. Konselor mendapatkan
pengetahuan, kesadaran pribadi, kepekaan, dan kemampuan berkomunikasi untuk
melakukan praktek terhadap sebuah populasi klien yang berbeda.
Berdasarkan masalah yang dikembangkan dengan sebuah studi kasus
tunggal, itu bisa dihipotesiskan bahwa berbagai masalah isu kode etik melekat
dengan lingkungan praktek sesuai zaman juga bervariasi, unik, dan dengan mudah
bisa dipecahkan saat itu juga, namun di waktu lain juga sedikit susah untuk
diputuskan. Konselor professional akan terus menghadapi tuntutan untuk
mengikuti kode etik dan standar praktek, dan di waktu yang sama, respon
terhadap kebutuhan pengobatan klien bisa bertentangan dengan standar-standar
praktek tersebut. Review dari beberapa kasus menganjurkan untuk melakukan
analisa, refleksi, dan pertimbangan yang hati-hati dalam menggunakan beberapa
sumber yang didesain untuk membuat sebuah rancangan untuk membuat keputusan
yang terbaik.
Persiapan Kode
Etik dalam Lingkungan Kesehatan Berencana
1.
Mulai
dengan penilaian diri mengenai pemikiran, sikap, dan kepercayaan tentang
keikutsertakan dalam lingkungan kesehatan mental yang direncanakan.
2.
Analisis
kecocokan pendekatan terapi yang akan dilakukan terhadap seseorang untuk dalam
proses konseling apakah cocok atau tidak cocok dengan kesehatan berencana.
Berdasarkan sifat dan hasil dari review ini, realistis sekali untuk menilai
ulang bagaimana menjadi konselor berdasarkan sistem seperti hal tersebut atau
mendapatkan kompetensi tambahan.
3.
Hati-hati
dalam mengevaluasi preferensi pribadi untuk melakukan konseling terhadap
populasi klien yang spesifik atau berkaitan dengan penyakit psikologis
tertentu. Misalnya, jika provider mencari konselor yang mempunyai keahlian
dalam mengobati masalah penyakit makan, namun konselor tidak memiliki keahlian dalam
hal tersebut, si konselor bisa mundur jika tidak bisa.
4.
Identifikasi
bidang-bidang untuk improvisasi kompetensi dengan perhatian khusus terhadap
kekurangan-kekurangan dalam dasar teoritis, pengetahuan dalam masalah diagnose,
kebutuhan unik dari klien.
5.
Kembangakan
sebuah rencana professional untuk mereview implikasi pengobatan konseling dan
manajemen pada dasar regular berdasarkan kode etik. Ini bisa diselesaikan
dengan kolega atau melalui konsultasi dengan supervisor.
PRAKTEK
KONSELING: MENGHADAPI MASALAH KODE ETIK
Pembahasan mengenai masalah kode etik masa kini dalam profesi
konseling bisa memasukkan setiap standar kode etik dalam sebuah kode etik dan
menjangkau profesi konseling, psikologi dan pekerjaan sosial. Tujuan review
ini, walaupun sejumlah tantangan dalam kode etik telah diidentifikasi adalah
untuk fokus dalam evaluasi. Setiap masalah dalam kode etik diidentifikasi
dengan ilustrasi yang fiktif disajikan untuk menggarisbawahi konteks masalah
tersebut dan merangkum manajemen kode etik yang disajikan.
Sebuah bagian
penting dari pengembangan konselor secara professional dan pribadi adalah
kesadaran diri. Ini penting sekali bahwa setiap konselor harus menentukan
bagaimana latar belakang budaya dan nilai spiritual dan personal, dan
kecondongan dari dampak negative dan positif dari hubungan sebuah terapi.
Karena konselor tidak bebas dari kecondongan, maka penting untuk menggunakan
praktek yang reflektif didesain untuk meminimalisir dampak yang bisa timbul
ketika melakukan layanan konseling. Walaupun tindakan seperti hal tersebut
mungkin tidak disengaja, namun itu bukan ketidakkompetenan budaya dan kurangnya
kesadaran diri. Untuk menganggap bahwa pegetahuan teroritis dan inteversi klinik
akan bekerja untuk semua klien menunjukkan apa yang Sue dan Sue (2003)
gambarkan sebagai cultural encapsulation
(fakta penting budaya).
Dalam kode etik
konselor yang sesuai dengan pentingnya pendirian sikap, posisi American
Counseling Association sudah jelas, pasti, dan tercermin dalam kode etik (2005,
p. 10):
Konselor tidak
dimaafkan untuk melakukan tindakan diskriminasi berdasarkan umur, budaya,
kecacatan, etnis, suku, agama, jender, identitas, orientasi seksual, status
pernikahan/hubungan, bahasa, preferens, status ekonomi sosial, atau beberapa
hal yang dilarang oleh hukum.
Dari perspektif tanggung jawab konselor untuk mengontrol kesadaran
diri dan kepercayaan dan bagaimamana ini berdampak terhadap proses terapi, ACA
Code of Ethics (2005, pp. 4-5) memberikan petunjuk yang jelas: “ \Konselor
harus sadar mengenai nilai, sikap, kepercayaan, perilakunya dan menghindari
nilai-nilai yang tidak konsisten dengan tujuan konseling.” Petunjuk tambahan
juga disajikan oleh Association for Multicultural Counseling and Development
(AMCD) (1991):
Secara kultural
konselor yang cakap harus mencari pengalaman pendidikan, nasehat dan training
untuk mengembangkan pemahaman dan keektifan dalam beraktivitas dengan populasi
yang berbeda secara budaya. Dapat mengenal batasan kompetensinya, (a) mencari
konsultasi, (b) mencari training dan pendidikan lebih jauh, (c) menghubungi
individu dan sember yang memenuhi syarat atau (d) menggunakan kombinasi dari
beberapa cara tersebut.
Bagi psikolog,
batasan kepekaan, dan mawas diri, dan praktek yang kompeten secara spesifik
digambarkan di 2.01 dalam APA Code of Ethics (p.5) yang menekankan parameter
pengetahuan yang professional dalam bidangnya harus memenuhi hal berikut:
Pemahaman dari
faktor yang berhubungan dengan umur, jender, identitas, ras, etnis, budaya,
asal kebangsaan, agama, orientasi seksual, kecacatan, bahasa, atau status
ekonomi sosial adahal hal penting dalam implementasi yang efektif dari layanan
atau penelitian. Psikolog harus mendapatkan training, pengalaman, konsultasi,
atau supervisi untuk meyakinkan kompetensi mereka, atau mereka membuat petunjuk-petunjuk
yang sesuai, kecuali yang ada dalam Standar 2.02, Menyediakan Layanan Gawat
Darurat.
Untuk untuk mengimplementasikan praktek kode etik ini, konselor
ingin untuk mengikuti sebuah sikap yang terbuka dan menerima terhadap
orang-orang yang memiliki perbedaan. Keinginan ini diringkas oleh Roger dalam
hal menghormati dengan positif dan tanpa syarat. Sama pentingnya, setiap
konselor memegang keinginan untuk menjaga dan meyakinkan keselamatan klien
setiap waktu yang mana hal yang bahaya bagi klien dicegah ketika sedang dalam
perawatan. Dalam konteks ini, praktek kode etik dengan klien yang memiliki
perbedaan harus terjaga dengan aman.
MASALAH KODE
ETIK: BERBEDA KEPERCAYAAN DAN JANGAN MEMBAHAYAKAN
Perhatikan kasus fitif Claudia berikut ini. sebagaimana kasus ini
dikaji, perhatikan berbagai masalah kode etik yang bermacam-macam yang
berpotensi muncul dalam pemikiran konselor dan dinyatakan dalam sikap verbal
dan non verbal:
Claudia,
berumur 68 tahun, perpaduan Afrika-Amerika, lesbian dan mempraktekkan
kepercayaan spiritualism (kepercayaan bahwa dia bisa berkomunikasi dengan orang
mati) dan menderita kanker payudara. Pasangan lesbinya, 25, telah
meninggalkannya dan bersama dengan wanita lain. Sebagai seorang spiritualis
Claudia mendapatkan cinta dan pesan positif dari orang-orang yang dicintainya
namun telah meninggal dunia yang membuat dia yakin dan tenang dengan kehidupan
setelah mati dan kedamaain. Menerima bahwa kematian bukan lah sebuah masalah.
Masalah yang dihadapi Claudia adalah perasaan sedih, marah, dan keadaan
tertinggal karena Jodie telah meninggalkan dia.
Keluar dari
keputus-asan, Claudia mencari daftar konselor yang ada dalam telponnya. Dia
berharap nanti terapinya akan bisa menghilangkan kesedihannya dan beranjak dari
keputus-asaannya. Ketika sesi pertama (evaluasi klinik), Claudia menceritakan
tentang dirinya kepada Dr. Richards, namun dia merasa ketidaknyamanan dengan
konselor tersebut, sebagaimana dapat dilihat dari expresi wajah dan bahasa
tubuhnya.
Konselor
tersebut mengatakan: “Claudia, kamu harus tahu bahwa saya tidak bisa melalukan
ini bersama anda karena kepercayaan agama saya bertentangan dengan homeseksual
dan spiritualism.” Dia terus menjelaskan pendangannya dan menyarankan jika dia
masih berharap untuk memecahkan masalah-masalahnya, dia tetap akan bekerja
dengan dia.
Ini penting sekali
untuk menggarisbawahi bahwa dengan contoh kasus fiktif tersebut, tujuan dari
kasus ini adalah untuk menekankan masalah-masalah dalam kode etik, bukan debat
mengenai hak konselor memegang kepercayaan atau agama yang berbeda dengan
kepercayaan klien.
Pertimbangan
Kode Etik: Membahayakan Keselamatan Klien
Sejumlah pelanggaran kode etik diilustrasikan dalam kasus Claudia.
Pengalaman Claudia ketika masuk konseling dan bertemu seorang konselor dengan
kepercayaan yang berlawanan dengan dirinya menghasilkan hal negative bagi
Claudia. Tindakan sang konselor dengan jelas telah melanggar ACA Code of Ethics
mengenai prinsip tidak melakukan hal yang berbahaya. Ketika melihat kasus ini
dari perspektif klien, kemudian dari konselor, masalah kode etik bisa
diidentifikasi, bisa dilihat maksud konselor untuk membantu klien tidak
tercermin dalam tindakannya.
Dari perspektif Claudia, sebagaimana klien masuk konseling pertama
kalinya dengan keadaan sedih dan sakit, sangat mungkin jika sekumpulan perasaan
dirasakan (marah, sedih, ketidakpercayaan, merasa tidak dihormati dan dihargai).
Bagi dia, keputusan dia bertemu dengan konselor, hasilnya sangat tidak
memuaskan sekali.
Dari perspektif Dr. Richard, kemungkinan ada sebuah maksud untuk
mencari masalah mendasar, untuk mengambil konseling yang cocok dan lazim bagi
dia. Tujuan dari Claudi untuk melakukan konseling diselewengkan.
Menurut ACA Code of Ethics (2005, p.6), “Jika para konselor
menentukan ketidakmampuan untuk menjadi konselor bagi klien, mereka menghindari
masuk atau melanjutkan hubungan konseling. Konselor mempunyai pengetahuan
tentang sumber rujukan yang cocok secara klinik dan kultural dan menyarankan
beberapa alternatif tersebut.” Oleh karena itu, Dr. Richards, telah melanggar
kode etik ini dengan tidak menghormati gaya hidup dan kepercayaan klien yang
berpotensi membahayakan Claudia dengan tidak melindungi keselamatan psikologis
dia. Harusnya Dr. Richards memberikan rujukan konselor bagi Claudia yang bisa
mengesampingkan sitstem ideology dan kepercayaan klien.
Manajemen Kode
Etik: Ruang Lingkup dari Praktek Refleksi Diri
Ketika dihadapkan dengan masalah perbedaan yang menggambarkan
kebutuhan klien yang tidak lazim, bertentangan, atau si konselor tidak mampu
untuk mengatasi, penting bagi konselor untuk berhenti sebentar,
mempertimbangkan semua pilihan, dan menyusun sebuah keputusan yang menunjukkan
praktek kode etik yang paling baik. Kenyataan dari gay, bagi beberapa kelompok
agama konservatif dan ahli pengobatan, terus menjadi sebuah masalah yang
berhubungan dengan kepercayaan yang si klien membutuhkan sebuah tranformasi
spiritual dan terapi yang berlawanan untuk mempertimbangkan hetereseksual
(Grant, & EPP, 1998; MCNeill, 1988; Nicolosi, 1991). Oleh karena, itu
penting bahwa konselor harus hati-hati dalam mengkaji masing-masing kode etik
untuk meyakinkan bahwa pemenuhan standar-standar ini dilakukan.
Pemenuhan kode
etik konselor professional itu penting, namun bisa dipengaruhi oleh sistem
kepercayaan yang menunjukkan pandangan pribadi yang dipegang erat-erat. Ada
beberapa persyaratan yang telah dutetapkan dalam profesi konseling untuk
meyakinkan bahwa praktek sebuah pekerjaan yang bertugas membantu orang lain
yang memiliki masalah mental memiliki karakter refleksi diri. Praktek ini
dilakukan terhadap setiap klien yang sedang melakukan layanan konseling sebagai
petunjuk yang mengarahkan dalam membuat keputusan, mendukung tindakan untuk
mencari supervisi, dan membenarkan sebuah masalah dalam bertindak yang tidak
efektif dan membahayakan orang lain.
Dalam kasus Claudia, Dr. Richards tidak konsultasi dengan ACA Code
of Ethics dulu untuk menginfornasilan klien yang akan ditetapkan kembali
tersebut dan juga tidak mencari supervisi untuk mengatasi konflik kepercayaan
antara si klien dan konselor. Intervernsi paling langsung dalam situasi seperti
tersebut, yang dibuat untuk menghindari bahaya dan tetap dalam ruang lingkup
praktek konselor, adalah Dr, Richards menunjukkan kepekaannya terhadap
permintaan dan masalah Claudia untuk mendapatkan konseling dan juga menghormati
kepercayaannya. Masalah ini bisa selesai dengan cara mengakui
kekurangan-mampuan untuk mengatasi masalah Claudia dengan misalnya mengatakan,
“Claudia, Anda mengalami masalah yang emosional yang lumayan berat. Karena saya
mempertimbangkan keselamatan Anda dan saya merasa kurang mampu untuk membantu
masalah Anda, maka saya akan mereferensikan seorang konselor lain yang
mempunyai keahlian untuk mengatasi masalah Anda.”
Meskipun hal ini
bisa menjadi perdebatan tentang bagaimana untuk mengungkapkan seperti di atas,
pokok permasalahan yang teridentifikasi adalah bukti bahwa Dr. Richard telah
melakukan refleksi diri mengenai kompetensinya untuk membantu klien tersebut
bahwa dia tidak siap untuk membantunya, dan memberikan referensi konselor lain
yang dibutuhkan Claudia.
MASALAH KODE
ETIK: MENINGGALKAN KLIEN
Klien yang ikut konseling secara khusus mempunyai harapan bahwa
kegiatan konseling akan selesai bersama konselor sesuai rencana
pengobatan/penyembuhan yang disepakati dan pemahaman tanggung jawab sebagai
klien atau pun penyedia pengobatan kesehatan mental. Untuk meyakainkan bahwa
dasar ini dibangun dengan baik selama sesi penilaian awal, persetujuan yang
sama-sama dipahami harus didapatkan. Sebagai bagian dari proses persetujuan,
konselor menggunakan beberapa metode tentang kontak/hubungan, prosedur gawat
darurat dan informasi mengenai ketidaksedian karena sakit atau waktu dari
kantor. Setiap item informasi ini akan mendukung praktek kode etik ketika
menentukan tingkatan kepercayaan dan harapan antara klien dan konselor. Yang
melekat dalam proses ini adalah sebuah harapan bahwa konselor akan mau
mendengarkan kebutuhan klien bersama dengan garis pedoman yang telah
didiskusikan. Oleh karena itu, hubungan terapis bisa bergantung pada
implementasi yang konsisten dari harapan yang saling dimengerti.
Ketika harapan
terhadap akses konselor tidak ditegakkan, klien akan ada dalam resiko yang
berpotensi dalam situasi yang mengancam (Doverspike, 1999). Walaupun hal
tersebut tidak dipandang sebagai hal yang sering terjadi, konsekuensi bagi
klien dan koselor ketika melanggar kode etik yang terjadi bisa menjadi berat.
Sebagaimana kasus Amber berikut ini, hasil yang tak baik bisa jadi tidak
diharapkan.
Amber seorang
wanita yang telah bercerai, 37, menderita penyakit yang depresif yang besar
atau dikenal dengan istilah MDD (major deppresive disorder) (American
Psychiatric Association), yang telah berusaha melakukan bunuh diri beberapa
kali. Kemudian dia melakukan pengobatan dengan konseling kepada Dr. Clark.
Kerika sesi kedua, Dr. Clark mengatakan, “ingat, saya di sini bersamamu.” Hari
selanjutnya, Amber merasa ingin bunuh diri dan menghubungi kantor Dr. Clark
hanya untuk mendapatkan pesan (surat) yang mengatakan, “Hello. Ini Dr. Clark, Saya
sedang tidak di sni sekarang, tolong tinggalkan pesan.”
Gara-gara tidak
ada kabar, Amber kemudian bingung, menulis catatan mengenai bunuh diri, minum
sebotol obat antipanik. Amber sebelumnya merencanakan makan siang dengan teman
kamarnya, Anna. Anna ketika Anna menghubungi Amber untuk mengingatkan makan
siang mereka dan tidak ada respon, Anna kemudian pergi ke apartemennya dan menemukan
catatan bunuh diri dan Amber tidak sadar. Anna kemudian menelpon 911, Amber
kemudian dibawa ke ruang gawat darurat, ke ruang ICU (intensive care unit), dan
setelah itu, kemudian dia dipindah ke unit penyakit jiwa.
Staff unit
penyakit jiwa hal ini terjadi karena tidak adanya respon dari Dr. Clark atas
panggilan kantor Amber yang ingin menghubungi dia. Seminggu setelah ini
terjadi, Dr. Clark kembali karena panggilan rumah sakit dan mengatakan, “Saya
minta maaf, ada masalah keluarga yang harus saya selesaikan, anak saya masuk
rumah sakit, apakah Amber baik-baik saja? Kepala Unit Penyakit Jiwa tidak puas
dengan respon dan tidak adanya pemberitahuan Dr. Clark yang menyebabkan keselamatan
Amber terancam. Sebuah komplain terhadap Dr. Clark diajukan kepada American
Counseling Association Ethics Committee.
Dalam kasus
ilustrasi ini, pertanyaan yang perlu ditanyakan adalah: Apakah Dr. Clark
meninggalkan Amber dan k ien lainnya? Jawabannya adalah iya, menurut ACA Code
of Ethics (2005, p.6) mengatakan, “konselor tidak boleh meninggalkan atau melalaikan
klien dalam konseling. Counselor membantu dalam membuat perjanjian yang baik
untuk pengobatan yang berkelanjutan, misalnya mengenai gangguan ketika
dibutuhkan, seperti liburan, sakit, dan tindakan selanjutannya.” Sebuah aturan
yang sama juga ditulis dalam APA Ethics Code (2002, p.7) yang menekankan tentang
tugas seorang psikolog “untuk membuat usaha-usaha yang rasional untuk
merencanakan layanan dimana layanan tersebut nanti ada gangguan seperti si
psikolog karena sedang sakit, meninggal, tidak mampu, relokasi, atau
pengunduran diri karena relokasi dari si pasien atau keterbatasan dana.”
Manajemen Kode
Etik: PemberitahuAn yang Hati-hati
Bukanlah hal yang realistik jika konselor akan selalu bisa ada
untuk kalian selama 24 jam tiap minggu, atau 365 hari setahun, tapi realistik
sekali jika perjanjian dibuat untuk memberitahu kapan konselor bisa dan kapan
konselor tidak bisa. Dalam kasus tersebut, perhatian Dr. Clark terhadap
kliennya belum cukup rasional untuk meninggalkan klien dan meyakinkan bahwa
pemberitahuan sudah dilakukan ketika keluarganya sedang dalam situasi gawat.
Konselor diwajibkan untuk membuat rencana-rencana yang memadai bersama kliennya
bahwa pengobatan tidak akan terlalu terganggu ketika konselor tidak bisa
(VandeCreek & Knapp, 2001). Kemudian, secara khusus konselor harus
menginformasikan kliennya bagaimana untuk mendapatkan layanan darurat jika
emosinya atau kesehatan mentalnya dalam keadaan gawat. Kemungkinan-kemungkinan
ini harus dimasukkan dalam proses pemberitahuan informasi, diperiksa dalam
rencana pengobatan, dimasukkan dalam pesan voicemail, dan dihubungkan dengan konselor
lain yang bisa dan ditunjuk sebagai konselor pengganti jika sedang tidak bisa.
MASALAH KODE
ETIK: MEMPUNYAI DUA HUBUNGAN
Mungkin tidak ada topik lain yang berpotensi meyebabkan klien dalam
bahaya dan berdampak pada keselamatan klien selain masalah memiliki dua
hubungan. Dual relationship (memiliki
dua hubungan) dianggap tidak benar dan tidak beretika dalam proses konseling,
sebaliknya tindakan yang lain tidak akan mengakibatkan eksploitasi atau bahaya
yang signifikan (Glass, 2003; Hill, 2001; Kolbert, Morgan & Brendel, 2002).
Misalnya seorang konselor yang praktek bekerja di daerah pedesaan sering
berinteraksi dengan klien di asosiasi guru-orang tua, di rumahnya, atau sambil
shoping. Hubungan non-seksual ini harus ditegur dengan tindakan jelas karena
akan membekas pada pandangan hidup konselor (Nigro, 2004). Kemudian, konselor
harus sadar mengenai ketidaknyamanan yang diberikan provider untuk melayani
orang yang mereka kenal dalam komunitasnya dan yang akan terus berinteraksi
diluar aktivitas konseling (Nigro, 2004).
Dengan rujukan
masalah ini, ACA Code of Ethics (2005) menyediakan pedoman untuk mengatasi
berbagai hal kapan konselor harus dan tidak harus berinteraksi di luar konteks
konseling. Kode tersebut membahas tentang batasan interaksi dengan klien yang
sedang dalam proses konseling (Bagian A.5.a), dengan mantan klien (A.5.b),
hubungan atau interaksi tidak professional (A.5.c), hubungan yang menguntungan
di luar hubungan konseling (A.5.d). Kode etik tersebut juga membahas kebutuhan
konselor untuk menjaga kesadaran diri dan ada dalam prilaku yang sesuai dengan
klien ketika peranannya berubah (misalnya dari konselor menjadi peneliti)
(A.5.e). Pedoman tersebut menyediakan petunjuk yang jelas bagi konselor yang
dibuat untuk menghindari munculnya masalah ketika dual relationship (memiliki dua hubungan) diketahui, tidak
dilakukan dengan hati-hati, tidak dapat dihindari, atau dipertimbangkan.
Dalam APA Ethics
Code (2005, p.6), psikolog dinasehatkan untuk menahan:
Mulai dari
memasuki sebuah hubungan yang sifatnya multi jika multi-hubungan tersebut
diperkirakan akan merusak keobjektifan, kompetensi, atau keefektifan psikolog
dalam fungsinya sebagai psikolog, atau kalau tidak berisko eksploitasi atau
bahaya bagi orang yang menjalin hubungan kepadanya. Multi-hubungan yang tidak
diharapkan untuk menyebabkan kerusakan, resiko eskploitasi atau bahaya adalah tidak
tercela.
Konselor secara jelas ditegur untuk mengevaluasi dengan hati-hati
resiko yang berpotensi untuk masuk ke dalam dual
relationship dalam berbagai konteks yang mungkin bisa muncul. Itu adalah
tanggung jawab konselor untuk meyakinkan bahwa hubungan seperti hal tersebut
masih dalam batasan yang sempit dan masih bisa diterima berdasarkan kode etik.
Sexual dual relationship (memiliki dua
hubungan yang sifatnya seksual) sangat jelas membahayakan klien. Hubungan
seperti hal tersebut sering menunjukkan hilangnya batasan konselor dan keburukan
pribadi yang berpengaruh terhadap terapi (Corey, Corey, & Callahan, 2003;
Doverspike, 1999). Untuk mengilustrasikan bahaya yang bisa dilakukan oleh
konselor yang mengeskploitasi seorang klien untuk tujuan seksual, simak kasus
fiktif dari Heather berikut ini.
Dr. Milton,
seorang konselor yang memiliki izin dalam praktek yang sifatnya pribadi, sedang
melakukan konseling dengan Heather mengenai keinginannya untuk bangkit dari
keadaan setelah putus dengan dengan cowoknya. Karena baru cerai dari istrinya,
Dr. Milton merasa kesepian dan sedih karena istrinya telah meninggalkannya
karena seorang pria yang lebih muda darinya. Ketika melewati beberapa sesi
bersama Heather, Dr. Milton merasa gaya pakaian Heather provokatif dan
memperhatikan bahwa dia sering menyentuh lengannya untuk menekankan maksud yang
dia sedang buat. Dia merasa terayu dengan sikap Heather kepadanya dan sering
memperpanjang waktu sesi konseling dari 50 menit menjadi 10 menit. Dia juga
telah menjadwalkan sesi bersama dia untuk yang terakhir sesuai perjanjian dan
dia sedang memiliki fantasi seks tentang Heather yang juga berfikir bahwa dia
adalah pasangan yang memungkinkan.
Dalam sebuah
sesi ketika Heather merasa putus asa dan menangis karena ada kabar bahwa mantan
cowoknya akan menikah, dia mengatakan, “saya merasa tak bisa dicintai dan sepi.
Apakah saya tidak menarik?” Dr. Milton bilang “kamu sangat sedih dan kamu
menanyakan tentang dirimu sendiri. Apakah kamu butuh sebuah pelukan?” Kedekatan
ini memprakarsai sebuah hubungan seksual tersembunyi bersama Heather yang
berlangsung selama waktu konseling.
Pertimbangan
Kode Etik: Ketidakpatasan Seksual
Ada bagian yang jelas, pelanggaran kode etik yang serius digambarkan
dalam kasus ilustrasi tersebut, apakah ketidakpantasan sekual tersebut
disengaja atau tidak sengaja (Moleski & Kiselica, 2005). Hubungan seksual
jelas dilarang dalam kode etik dan dianggap salah satu pelanggaran paling berat
bagi konselor (Corey, Corey, Callahan, 2003; Doverspike, 1999). Dr. Milton
telah melanggar batasan antara konselor dengan klien dengan memulai hubungan
seksual dengan Heather dan kemudian melanggar kode eti mengenai dual relationships.ACA code of Ethics
(2005, P. 5) secara spesifik mengatakan: “Interaksi/hubungan romantis atau
seksual antara konselor dan klien bersama klien (yang sedang konseling),
pasangan romantis konselor, anggota keluarga adalah dilarang.” Kasus ini
menunjukkan bahwa amanah yang merupakan tanggung jawab untuk menjaga
batasan-batasan sebagai konselor ada dalam diri konselor sendiri. Menggabungkan
pelanggaran kode etik dan membahayakan Klien adalah penyalahgunaan kewenangan
yang juga digambarkan. Kemudian, itu juga adalah bukti bahwa Dr. Milton tidak
melakukan konsultasi dengan supervisor untuk mendiskusikan fantasi seksualnya
dan perasaannya terhadap Heather atau dia telah mengabaiksn nasehat dari
supervisornya untuk menghindari pelanggaran kode etik.
Manajemen Kode
Etik: Menghindari Dual Sexual
Relationship
Menghindari pelanggaran-pelangaran berat atau serius terhadap klien
tergantung kepada praktek kesadaran diri yang melekat dalam diri, fungsi
supervise klinik, dan perhatian terhadap faktor resiko kkode etik sedang
praktek. Melihat masalah pribadai Dr. Milton yang berhubungan dengan
percerainnya yang baru saja terjadi, dia seharusnya menghindari menghindari
konseling dengan klien yang memiliki masalah yang mirip atau pastikan dia telah
mencari supervisi berkenaan dengan pekerjaannya bersama Heather. Dia bisa juga
menunjukkan Heather kepada provide lain, dengan mengakui bahwa resiko dirinya
dan emosinya memungkinkan mempengaruhi keputusannya dan kompentensinya untuk
membahayakan orang lain. Ketika melihat dari perpektif gagalnya Dr. Milton
mengenali masalah-masalah pribadinya mengenai kesepiannya, keinginan untuk
kesenangan emosional, kebutuhan seksual, dia telah melanggar kode etik yang
sifatnya perintah: “Konselor harus siaga terhadap tanda-tanda perusakan atau
pelanggaran yang berasal dari masalah fisik, mental dan emosi dari diri
konselor dan menahan diri dari menawarkan atau menyediakan pelayanan yang
sekiranya membahayakan klien atau orang lain” (ACA, 2005, p.9).
Dari perspektif
lain, psikolog yang telah melanggar standar kode etik APA dinasehati dengan
jelas untuk “menahan dari memprakarsai sebuah aktivitas yang ketika mereka tahu
atau seharusnya tahu bahwa ada masalah substansial bahwa masalah pribadi
konselor akan mencegah aktivitas yang kompeten yang berkaitan dengan tugasnya”
(APA, 2002m p.5). Jika konselor Heather
adalah seorang psikolog, maka seharusnya perilaku Dr. Milton menunjukkan
masalah pribadinya mengenai kesepiannya yang akan menciptakan pelanggaran terhadap
pedoman praktek kode etik.
Dual relationship sering dianggap
problematis dan berkaitan dengan seringnya ada komplain yang serius terhadap
konselor yang diajukan (Corey, Corey, & Callahanm 2003). Nonsexual relationships atau hubungan yang
memiliki potensi lainnya akan terus dialami konselor yang berusaha untuk selalu
bekerja dalam garis-garis pedoman kode etik. Sebaliknya, sexual relationship akan menjadi keputusan yang membahayakan karir,
dan itu akan selalu menjadi masalah yang kontempore dalam profesi konseling.
MANAJEMEN
RESIKO DAN MASALAH KODE ETIK
Walaupun itu akan menjadi kebenaran yang tak dapat disangkal bahwa
masyarakat AS adalah masyarakat yang sering menggugat keputusan
pengadilan/hukum (misalanya, masyarakatnya mudah untuk melakukan penggugatan
berkenaan dengan kesalahan yang dirasakan dan nyata saat ada bukti yang
kurang), itu juga adalah kebenaran yang tak dapat disangkal bahwa konselor
harus memegang standar praktek konselor. Tanpa memperhatikan resiko yang sifatnya
bermasyarakat untuk menjadikan persoalan dengan sebuah tuntutan perkara yang
diajukan tehadap seorang konselor karena claim yang tidak mendukung,
perlindungan paling baik dari konselor terhadap kejadian tersebut adalah
praktek kode etik yang mengikuti kode etik pelaksanaan dan standar praktek.
Dalam bab ini, masalah kode etik yang sering menjadi topik diskusi oleh para
konselor saat seminar, selama supervisi, atau di dalam kantor dan keagenan
telah dibahas. Karena ini adalah tanggung jawab konselor untuk memastikan bahwa
sikap professional adalah jelas dan standar pengobatan selalu diikuti, maka
manajemen resiko adalah dalam kontrol konselor (Doverspike, 1999). Manajemen
resiko bisa didefinisikan sebagai istilah yang pro aktif untuk meringkas
tema-tema yang dijelaskan dalam bab ini yang berhubungan dengan strategi
manajemen resiko yang professional. Tindakan-tindakan yang diuraikan diambil
dari sejumlah sumber menjelaskan profesi konseling dan menunjukkan sebuah
tindakan yang masuk akal, cara berfikir, dan praktek membuat keputusan
berdasarkan kode etik (Corey, Corey, & Callahan, 2003; Cottone, 2001;
Doverspike, 199; Reamer, 2003).
1.
Mengikuti
dan menggunakan kode etik sebagai dokumen hidup yang menyajikan petunjuk dalam
membuat keputusan berdasarkan kode etik.
2.
Mencari
konsultasi dan supervise dengan kolega, supervisor, dan para ahli dengan
pengalaman dan pengetahuan mengenai praktek kode etik dalam konseling.
3.
Masuk
dalam pendidikan yang kontinyu dan aktivitas pengembangan diri dengan sebuah
penekanan yang termasuk dalam manajemen resiko, penelitian masa kini yang
berkaitan dengan praktek konsleing, informasi yang berkaitan dengan peraturan
dan resmi, literaturmasa kini sesuai bidangnya.
4.
Melakukan
dokumentasi yang teliti mengenai jejak rekam klien, dari sesi supervisi, dan
tindakan konsultasi yang diambil yang ada hubungannya dengan manajemen resiko
dalam membuat keputusan.
5.
Melakukan
praktek dalam ruang lingkup yang merupakan keahliannya dan menghindari untuk
melakukan konseling terhadap beberapa orang, keluarga, pasangan atau kelompok
otamg di luar parameter praktek.
6.
Mengikuti
standar pengobatan yang bisa digunakan.
7.
Mendapatkan
konsultasi atau bantuan resmi untuk memeriksa kepatuhan terhadap kode etik
ketika berpraktek dan atau untuk maksud dalam merespon atau memulai tindakan
menegenai pelanggaran-pelanggaran terhadap kode etik.
8.
Memastikan
bahwa tindakan-tindakan mal-praktek terkontrol dan manfaat dan batasannya
dipahami.
MENYIMPULKAN
ULASAN
Praktek konseling berdasarkan kode etik dimulai selama proses
pendidkan untuk persiapan ketika akan masuk dunia konseling yang professional.
Itu terus berkelanjutan sebagai elemen dasar dalam sebuah praktek efektif dan
perkembangan yang terus menerus sebagai seorang konselor professional. Proses
ini adalah sebuah perjalanan professional yang terdiri atas pembelajaran,
pendidikan, supervisi yang terus menerus, dan terus mengikuti literatur
professional yang berkaitan dengan penelitian, intervensi konseling dan tren
pengobatan dalam bidangnya. Kenalilah bahwa diri anda adalah bagian terpenting
untuk melakukan pencegahan terjadinya bahaya terhadap klien.
Sebagai konselor,
itu tergantung dari masing-masing konselor untuk memastikan bahwa pengobatan
konseling yang disajikan berdasarkan kode etik dan sesuai dengan standar
praktek. Melalui penjelasan masalah-masalah yang diuraikan dalam bab ini,
pembaca bisa bercermin kepada masalah-masalah yang dimunculkan dalam beberapa
kasus fiktif di atas dan kepada penjelasan prinsip kode etik yang dikutip.
Tujuan dari bab ini bukanlah sebagai kajian komprehensif terhadap semua masalah
kode etik, konflik, atau tantangan, namun hanya untuk mengajak pembaca untuk
berdiskusi. Walaupun ada kekuatan sosial, politik dan budaya yang bisa
mempengaruhi kehidupan konselor dalam menyajikan layanan konseling,
ganjaran/hadiah/upah dari mempraktekkan kode etik tidak lah bisa diukur.
0 komentar:
Posting Komentar