Subkhanallah Artikel yang luar biasa, artikel ini kami copy agar bisa dibaca menginspirasi kaum laki-laki dan perempuan yang mau menikah. Menerima apa adanya
Sebelum Aku Sah Berdiri Satu Shaf di Belakangmu, 5 Hal Ini Harus Kamu Tahu
Wai | Jun 27, 2015
Bertemu denganmu adalah nikmat besar yang tak
bisa aku dustakan. Sungguh aku tak sabar menanti hari dimana "kau"
dan "aku" menjadi "kita".
Akhirnya, aku akan tinggal bersama pria takdir yang telah lama kucari dan
kunanti. Kali ini, izinkan aku menyampaikan 5 hal yang ada di kepalaku,
agar kau bisa mempertimbangkannya sebelum aku sah berdiri satu shaf di
belakangmu.
1. Bersamamu, aku ingin menumbuhkan cinta yang mempersatukan kita hingga di Surga nanti.
Karena itu, jika telah bersatu, aku ingin kita lebih berhati-hati dalam mencintai. Akan kuletakkan hatiku di sebelah hatimu. Bersama-sama, kita isi kedua hati ini dengan kecintaan kepada Dia Yang Maha Menciptakan. Bersama-sama, kita bangun keluarga yang saling menguatkan untuk terus mengejar ridhoNya. Bersama-sama, kita lahirkan anak-anak yang lurus akidahnya, santun akhlaknya, dan luas pengetahuannya.
Bersama-sama, kita bangun keluarga yang menebar manfaat untuk banyak orang. Jika suatu hari nanti Dia meminta salah satu dari kita kembali padaNya, tidak akan ada lagi hati yang tersakiti. Karena tahu bahwa cinta ini akan mempersatukan kita lagi di surgaNya nanti.
2. Sudah lama aku hidup sendiri. Semoga kamu bersabar mendampingiku berbenah diri.
Selama ini, pelembab wajah, pelembab bibir, dan bedak bayi cukup bagiku karena yang kupedulikan hanya AC kantor yang membuat kering wajah dan bibir. Jika tidak ada momen penting, aku jarang sekali merias diri. Aku juga sudah lama terbiasa dengan makanan apa-saja-yang-gampang. Jangan tanya gizi, yang penting bisa delivery.
Banyak lagi yang harus dibenahi untuk hidup bersamamu. Aku ingin kamu tak perlu berpikir soal pakaian karena sudah kupilihkan saat kamu masih terlelap. Saat kamu bangun, kamar kita sudah tertata sehingga nyaman digunakan untuk sholat subuh berjamaah. Kemudian aku memasak—setidaknya aku bisa membuat sarapan yang memberikanmu cukup energi.
Lalu aku belajar merias diri agar senang hatimu jika melihatku. Lisan dan perilakuku juga harus dibenahi agar bisa menyejukkan hatimu ketika pulang mencari nafkah. Masih banyak lagi yang harus kubenahi. Semoga kamu bersedia bersabar mendampingi.
3. Ajari aku menjadi bagian dari keluargamu, kamu pun begitu.
Ajarkan aku bahasa ibumu, hal yang disukai dan tidak disukai saudaramu, dan nilai-nilai yang dipegang keluargamu. Semuanya. Aku ingin bisa menyatu dengan mereka agar kelak aku bisa menjadi anak dari orangtuamu dan bagian dari keluarga besarmu. Kuharap kau pun bersedia belajar untuk menjadi anak dari orangtuaku, kakak bagi adik-adikku, dan bagian dari keluarga besarku.
Dengan begitu, pernikahan kita akan menjadi simpul yang mengeratkan dua keluarga yang saling menyayangi.
4. Kita fokus bangun keluarga baru. Tapi jangan sampai melupakan keluarga kita.
Orangtua memang tak mengharapkan apapun selain
kebahagiaan kita. Mereka juga tak ingin mengganggu anaknya yang sedang
sibuk membangun keluarga baru. Tapi pasti jauh di lubuk hati, mereka
selalu merindukan kehadiran kita. Kita bisa mulai dengan yang
sederhana, seperti membelikan ibu peralatan masak yang baru untuk mengisi
waktu senggangnya, membelikan ayah barang yang berhubungan dengan
hobinya, atau bisa juga mengajak mereka liburan bersama.
Jauh lebih penting dari itu semua, kita harus
meluangkan waktu untuk menelepon atau sekedar chat setiap
hari untuk sekedar bertanya kabar hari ini. Dengan begitu, semoga mereka tetap
merasa memiliki kita walaupun kita sudah hidup terpisah dari mereka.
5. Apa yang akan kita lalui indah, tapi tidak akan mudah. Semoga kamu tidak menyerah.
Awal pernikahan pasti indah karena kita bisa
bersatu dengan orang yang paling kita cintai. Seiring berjalannya waktu, kita
mulai menemui kekurangan masing-masing. Mungkin kita akan bertengkar karena
beberapa hal tak berjalan sesuai keinginan kita. Kata penelitian, wanita lebih
sering berfikir dengan emosi, sedangkan pria mampu berfikir lebih logis.
Tentu saja, aku tetap akan berusaha berfikir
tanpa emosi untuk mengambil keputusan yang tepat. Namun jika aku terlalu
terlalu emosi dan ingin menyerah, kumohon kamu tetap tegar. Kamu adalah imam
yang di tanganmu terletak segala keputusan. Seberapa kecilpun keinginanku untuk
mempertahankan keluarga kita ketika itu, tetap ujung lidahmu saja lah yang
menentukan apakah kita tetap bersama atau berpisah.
Kumohon, jangan menyerah! Seberapa
sulit pun rintangan yang harus kita jalani, seberapa besar pun keinginanku
untuk menyerah, jika kamu masih melihat ada kemungkinan keluarga ini untuk
terus berjalan menuju keridhoan-Nya, tolong jangan kabulkan permintaan bodohku!
Jika kamu tidak keberatan dengan semua yang
kupinta ini, maka Bismillah, aku siap berjalan satu shaf di belakangmu.
0 komentar:
Posting Komentar